Beberapa minggu terakhir ini aku sering dihantui perasaan menakutkan. Mulai dari rasa takut yang datang tiba-tiba, datang tak diundang pulangpun tak diantar.
Kegelisahanku tak mendasar, semenjak menginjak semester lima tepatnya enam bulan yang lalu, aku mulai resah dan terus berfikir keras akan dibawa kemana hidup ini setelah lulus.
Rasanya tak kuasa aku menyandang gelar sarjana yang nantinya akan disematkan padaku. Tanpa ada kontribusi yang bisa kuberikan pada investor yang selalu mengirimiku uang bulan dikala ATM lagi kosong.
Sampai akhirnya akupun mengingat, di penghujung tahun 2016 lalu, dalam rangka menyelsaikan wawancara khusus untuk edisi majalah tahun ini, aku bertemu dengan salah satu narasumber yang luar biasa menurutku. Kiprahnya sebagai aktivis kemanusiaan sejak duduk dibangku perkuliahan hingga saat ini, membuatnya banyak dibutuhkan, khususnya teman-teman difabel.
Ia adalah aktivis kemanusiaan yang berjuang dengan totalitas. Dalam hidupnya ia meyakini Tuhan tidak pernah menciptakan manusia dengan cacat atau tidak sempurna. Bahwa dalam pandangannya manusia hanya diciptakan dengan kemampuan yang berbeda atau yang disebut dengan different abiltiy.
Setya Hadi, laki-laki paruh baya yang berbicara dengan logat khasnya, menceritakan bagaiamana perjuangannya para aktivis kemanusiaan saat melawan orde baru. “musuhnya kala itu adalah jelas pemerintahan yang diktator”. kenangnya.
“Rupanya dulu dan sekarang musuhnya sama saja” batinku.
Dalam diskusi saya dengan beliau, ia sempat mempertanyakan peran mahasiswa saat ini. Ia tidak lagi melihat geliat mahasiswa yang melawan kapitalisme yang semakin menggila. “Nampakanya mahasiswa sekarang lebih disibukkan dengan kepentingan-kepentingan individual, ketimbang persoalan masyarakat” tuturnya.
Hati nurani saya sebagai mahasiswa seolah tercabik-cabik. Mau jawab apa saya dengan beliau untuk menimpali diskusinya. Mau menyangkal rasanyapun tak enak, karena pada kenyataannya mahasiswa saat ini banyak yang terlena.
Tidak lagi peduli dengan orang-orang tergusur yang dirampas haknya, orang-orang termarjinalkan yang tak lagi di lindungi haknya oleh pemerintah. Tak heran, idividualisme serta acuh tak acuh akan sesama sudah merambah.
Banyak diantara kita memilki kepekaan sosial yang rendah, tidak mampu merealisasikannya secara nyata. Tidak sedikit pula diantara kita yang hanya sok kren menjadi aktivis kemanusiaan dengan celotehan semata.