Mohon tunggu...
Nahoras Bona Simarmata
Nahoras Bona Simarmata Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sedang belajar menjadi pengajar yang membuat anak didik untuk selalu rindu belajar...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Haruskah Aku Membenci Polantas?

18 November 2013   04:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01 1673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebulan lebih aku harus bergumul mengurus segala sesuatunya. Ke kantor lurah, ke kantor polisi, ke notaris, dan banyak lagi tempat lainnya yang cukup membuatku lelah, tak hanya badan, tetapi juga pikiran. Dari sekian banyak yang aku alami, ada satu peristiwa yang sulit dilupakan. Sulit dilupakan karena menurut saya peristiwa ini tidak harus terjadi.

Setelah kepergian Ibu untuk selama-lamanya (9 September 2013), saya harus pergi ke kota Sibolga untuk mengurus segala – sesuatunya; Surat Keterangan Meninggal, surat tanah, bayar PBB dan banyak lagi. Untuk mempermudah dan mempercepat semuanya, saya pun meminjam motor Inanguda saya (Bibi). Maklumlah, selama di Sibolga harus bolak-balik rumah, kantor lurah, kantor camat, kantor pajak, dan tempat lainnya. Puji Tuhan, Inanguda saya pun dengan senang hati meminjamkannya.  Untungnya lagi spion, lampu, plat motor, STNK, semuanya lengkap. Jadi tidak perlu risau kalau ada razia.

Rabu pagi (9 Oktober 2013), sewaktu mengendarai motor dari Sibuluan menuju Kantor Lurah Ketapang, ada razia yang dilakukan oleh Polisi didaerah Sambas yang kebetulan saya lewati. Mau tidak mau saya pun harus menghentikan motor yang saya kendarai. Setelah menerima sapaan dari Polantas yang bertugas saya pun memperlihatkan SIM dan STNK motor Paman saya yang saya pinjam.

“Telat pajak ya Bang”, tanya Polantas yang menangani saya.

“Iya Bang”, jawab saya sambil melihat ke plat motor. “Kok aku baru sadar ya?”  keselku dalam hati.

“Mari sini Bang” ujar Polantas tersebut mengarahkan saya ke meja yang di atasnya terdapat formulir tilang.

Karena tidak tahu bahwa telat membayar pajak kendaraan bukanlah merupakan salah satu bentuk ‘tindak pelanggaran lalu lintas’ saya pun pasrah menandatangi surat tilang tersebut. Polantas tersebut memberikan lembar biru. Tertera di surat tilang (formulir) tersebut bahwa saya telah melanggar pasal 288 dan mengatakan “Sidangnya Jumat depan ya Bang. Ada di formulir ini jadwalnya”.

Saya pun menceritakan hal ini kepada beberapa orang. Salah satunya memang orang yang mengerti hukum. “Seharusnya itu tidak ditilang. Telat membayar pajak bukan berarti itu melanggar lalu lintas. Lagian kalau telat membayar pajak kan kita sudah menanggung akibatnya, yaitu denda keterlambatan bayar pajak” ujarnya.

“Hm… masuk akal juga penjelasannya” pikirku dalam hati.

Sambil menunggu hari sidang yang jatuh pada Jumat 18 Oktober, saya pun beberapa kali menceritakan hal ini kepada teman-teman. Dan sebagian teman memang menjelaskan bahwa apa yang saya alami seharusnya tidak terjadi.

Well,,, tanggal 18 Oktober pun tiba. Sesuai yang tertera di surat tilang, jam 10 tepat aku berada di Pengadilan Negeri Sibolga untuk mengikuti sidang. Sebelum mengikuti sidang aku pun menghampiri petugas yang ada di kantor pengadilan. Karena penasaran dengan apa yang aku alami, aku pun membaca apa isi pasal 288 yang ditulis oleh Polantas tersebut di surat tilang. Bukunya kebetulan ada di meja petugas dan diperbolehkan untuk dibaca.

13847219531789257432
13847219531789257432

1384722344869722129
1384722344869722129

13847226851744324317
13847226851744324317

Saya pun kaget dan merasa heran. Ternyata dalam pasal 288 (maupun pasal yang terkandung di dalamnya) tersebut tidak menyebutkan ataupun menyinggung bahwa ketelatan membayar pajak kendaraan merupakan bagian dari tindakan pelanggaran lalu lintas. Hal ini pun mendorong saya untuk bertanya pada petugas yang ada (lupa, tidak catat namanya).

“Bang, kok saya ditilang pake pasal 288 ini ya? Padahal cuma telat bayar pajak. Sedangkan di sini tidak disinggung sama sekali soal pajak?” tanya saya sambil menunjukkan buku tersebut.

Setelah mendengarkan sedikit cerita saya mereka pun menanggapi. “Lha abang seharusnya kemaren langsung tanya polisinya. Kita bukan orang lapangan bang. Kita cuma mengerjakan sesuai dengan berkas yang mereka kasih”, demikian jawaban dari mereka.

“Lah trus gimana donk ini Bang (kasus saya)”, tanya saya berusaha mendapatkan penjelasan. Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan besaran denda. Saya hanya penasaran, apakah betul secara hukum saya melakukan pelanggaran lalu lintas atau tidak.

“Yauda, gini aja bang. Ntar abang balik ke sini lagi aja, jam 2 siang. Ngomong sama Hakimnya langsung. Abang juga salah. Sidangnya kan jam 9 tapi abang datang jam 10”, mereka melanjutkan penjelasannya.

Mendengar ini saya pun semakin heran. “Lah, kok jam 9 bang? Saya kan datang sesuai jam yang tertera di surat tilang (jam 10),” jawab saya sambil menunjukkan jam siding yang tertera di surat tilang saya .

“Nggak bang, sidangnya jam 9 kok”, lanjut petugas tersebut sambil menunjukan surat tilang lainnya.

Mengetahui jam sidang yang salah saya pun semakin kesal. “Sudah ditilang ga jelas, jam sidangnya juga ga jelas”, pikir saya dalam hati.

Jam 2 siang saya pun kembali. Sayangnya, Hakim yang ingin saya temui tak kunjung datang. Sang petugas pun menyarankan agar saya mendatangi Polantas yang memberikan surat tilang tersebut. Namun karena sorenya saya harus meniggalkan kota Sibolga dan berangkat menuju kota Medan, hal itu tidak mungkin untuk saya lakukan.

Saya terpaksa membayar denda tilang sebesar Rp. 76.000. Sungguh situasi yang sangat menjepit. Hari itu juga saya harus berangkat ke kota Medan (untuk mengurus urusan lainnya). Kurang etis jika saya meninggalkan masalah surat tilang ini kepada Bibi dan Paman yang telah berbaik hati meminjamkan motornya kepada saya. Saya pun keluar dari Pengadilan tanpa ‘tanda bukti bayar’.

Hingga saat ini rasa heran, kaget, dan aneh masih membekas di kepala. “Kok bisa-bisanya Polantas tersebut mengkategorikan ketelatan membayar pajak sebagai pelanggaran lalu lintas? Kok bisa-bisanya ya Polantas salah nulis jam sidang? Tahukah sang Polantas bahwa 76 ribu bukanlah uang yang sedikit bagi mahasiswa seperti aku ini?” pertanyaan-pertanyaan ini hingga sekarang seringkali muncul dibenakku. Bagaimana tidak, dinyatakan bersalah untuk sesuatu yang bukan merupakan kesalahan, bukanlah hal yang mudah untuk diterima. Kesel rasanya jika harus mengalami hal seperti ini. “Oh Pak Polantas, haruskah aku membencimu?”

Peristiwa ini mengingatkanku pada pernyataan Gus Dur saat memberikan komentarnya tentang Pak Hoegeng yang saat itu sedang menjadi topik acara Kick Andy di Metro TV. “Polisi jujur di Indonesia itu cuma ada 3, Pak Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur”. Apakah pernyataan ini benar? Saya rasa kita semua sudah tahu jawabannya. Dan yang pasti di bawah kepemimpinan Kapolri yang baru, Pak Sutarman, kita pasti berharap bahwa Polisi semakin professional, berdedikasi tinggi, dan mengayomi masyarakat dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun