Mohon tunggu...
Nahla Fauza
Nahla Fauza Mohon Tunggu... -

Perempuan berpena

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elegi di Balik Punggung Jalanan

22 September 2012   05:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:01 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mendung telah menghilang. Langit menyisakan celah-celah untuk bias radiasi hangatnya mentari. Angin dingin menemani dedaunan basah. Udara membawa bau harum tanah sisa gerimis yang mengguyur kota Malang. Jalanan mulai ramai. Terlihat aktifitas lalu lintas dalam liarnya jalanan. Angkutan kota bertanda AL, GL, LG, AG dan semacamnya seolah berlomba di atas panggung aspal. Saling menyalip demi mengangkut satu-dua orang penumpang. Tak kalah berbagai jenis kendaraan pribadi, ada yang melenggang tenang bahkan berkebut-kebutan.

Ku pelankan motor matic kesayanganku saat memasuki kawasan alun-alun kota, lalu memarkirnya di dekat sebuah pohon rindang di pojok parkiran. Ku layangkan pandang meluas ke seluruh penjuru alun-alun setelah kepalaku terbebas dari helm putih bergambar logo Singo Edan yang identik dengan klub sepak bola kebanggaan masyarakat Malang, AREMA. Setelah memastikan helmku terpasang dengan aman di samping jok motor, aku berjalan masuk dengan membawa tas kecil dan kamera digital pemberian ayahku.

Aku mengabadikan beberapa objek yang menurutku cukup menarik dengan kamera digitalku. Ada gambar saat seorang ibu penjual gorengan menawarkan dagangan pada orang-orang yang lewat, lalu gambar saat anak-anak kecil berkejaran disekitar air macur, dan ada juga saat burung dara terbang mendekati sangkarnya. Setelah merasa mulai lelah berjalan, aku memutuskan duduk di sebuah bangku panjang. Aku mengeluarkan air mineral dari dalam tas dan meneguknya, membasahi tenggorokan yang sedari tadi kering kerontang.

Saat menutup botol air mineralku, aku tak sengaja melirik ke sudut lain di alun-alun. Aku menangkap pemandangan indah. Beberapa pemuda-yang sepertinya mahasiswa-terlihat bermain-main dengan anak-anak jalanan. Mereka bernyanyi bersama, mendengarkan cerita dan main tebak-tebakan. Aku beranjak menghampiri kumpulan itu. Setelah merasa mendapat tempat yang tepat untuk mengabadikan, aku memotret kumpulan itu. Seorang anak laki-laki menoleh, mungkin karena dia mendengar suara jepretan kameraku.

“Wah, kita difoto!!!” teriaknya senang, membuat kepala-kepala lain ikut menoleh. Seorang perempuan berjilbab lebar tersenyum padaku.

“Mau bergabung dengan lami dan adik-adik, mbak?” sapanya lembut.

“Oh, terima kasih. Saya hanya ingin memotret saja.” Aku sedikit sungkan karena merasa tak diundang.

“Oh begitu. Tapi mungkin adik-adik akan lebih senang jika mbak ikut bergabung juga.” Timpal seorang pemuda yang mengenakan kaos bertuliskan kata FREEDOM dibagian depan.

“Mungkin lain kali, sekarang saya ingin melihat dan memotret saja.” Mereka tersenyum mendengar jawabanku. Mungkin mereka melihat raut sungkan diwajahku.

Aku mengambil beberapa foto ekspresi adik-adik yang bernyanyi dengan riang. Sambil terus mengamati mereka aku duduk disamping jalan setapak yang terbuat dari paving. Mataku menangkap sesosok anak laki-laki yang melihat teman-temannya bermain dari kejauhan. Dia memandangi dari balik pohon sambil memegangi gitar kecil bututnya. Aku berdiri dan menghampiri anak itu.

“Kenapa tidak bergabung saja dengan mereka, Dik?”

Anak laki-laki itu sedikit kaget dan reflek memandangku tajam. Aku tetap tersenyum meski aneh dengan cara dia memandangku.

“Gabung aja dengan mereka, Dik. Dari pada hanya memandang dari balik pohon. Ayo? Kesana sama kakak!” ajakku sambil mengulurkan tangan.

“Aku malu, Kak.”

“Ehm, begitu.” Kataku masih tersenyum, “Nama Kakak Alna. Nama adik siapa?”

“Namaku….. namaku Aryo.” Dia menjawab meski sedikit ragu.

“Aryo, nama adik bagus.” Ucapku jujur, “Aryo gak mau ikut kesana?” kataku sambil menunjuk kumpulan tadi.

“Aryo pengen ikut, tapi malu, Kak.”

“Biar gak malu, kesana bareng kakak aja. Gimana?” aku mengulurkan tangan.

Aryo memandang tanganku, lalu ganti memandangku. Dia nampak ragu untuk menyambut uluranku. Aku tersenyum tulus hingga akhirnya dia menyambut tanganku. Kami berjalan menghampiri kumpulan itu. Aryo memilih sedikit bersembunyi dibalakangku saat kami sudah dekat dengan tempat yang dituju. Aku memanggil gadis berkerudung yang tadi menyapaku.

“Ada yang mau ikut bergabung, tapi malu-malu.” Kataku sambil tersenyum dan melirik ke arah Aryo di belakangku.

“Oh.” Kata gadis itu tersenyum. “Ayo, adik. Jangan malu-malu. Ayo ke sini sama teman-teman.” Aryo melangkah pelan mendekati teman-temannya. Gadis itu tersenyum yanda terima kasih padaku. Aku kemudian duduk di dekat kumpulan itu. Ku lihat Aryo hanya diam, tidak seperti teman-temannya. Teman-temannya pun juga sepertinya menganggap Aryo tak ada. “Mungkin hanya Aryo belum terbiasa saja.” Kataku menduga.

Waktu menunjukkan pukul 15.50 WIB. Tak terasa ternyata sudah hampir dua jam aku duduk memperhatikan tawa canda adik-adik itu. Aku juga telah banyak mendapat gambar mereka. Sekarang para pemuda itu sedang membagikan makanan kecil dan juga minuman kemasan kepada adik-adik yang ada di situ. Mereka terlihat senang dan sedikit berebut meminta dibagikan. Tapi Aryo masih terlihat diam. Dia tidak berebut seperti teman-temannya, hanya menerima jika diberi.

“Mbak kenal dengan Aryo?” tiba-tiba gadis yang berkerudung lebar sudah duduk di sampingku. Aku hanya memandang bingung, sama sekali tidak menjawab. “Oia, nama saya Dewi Irma Lathifah. Panggil Dewi saja.” Dia mengulurkan tangan.

“Anzalna Rahma Putri. Panggil saja Alna.” Kataku membalas senyuman Dewi.

“Mbak Alna belum menjawab pertanyaan saya. Mbak mengenal Aryo?”

“Oh, enggak. Tadi waktu saya sedang memotret adik-adik saya melihat dia memperhatikan dari balik pohon. Saya pikir dia ingin bergabung tapi malu karena sudah telat. Makanya saya ajak dia ke sini.” Dewi mengangguk mendengar jawabanku. “Kalau boleh tahu, memangnya kenapa, Dew?”

“Aryo tidak mau bergabung bukan karena malu sudah datang telat mbak, tapi dia tidak suka dengan adik-adik yang lain. Dari dulu saya dan teman-teman sering mengajaknya, tapi dia selalu menolak. Teman-temannya pun juga acuh. Kami semua tidak tahu kenapa, tapi kami juga tak ingin memaksa.” Dewi berhenti sejenak, “Tapi kami tadi juga heran kenapa mbak yang baru datang langsung bisa membujuknya. Yang jelas kami berterima kasih sekali mbak.” Dewi mengakhiri kata-katanya, lagi-lagi dengan senyuman.

Adik-adik mulai beranjak dari tempat itu. Aku sedikit tertegun mendengar perkataan Dewi. “Ada apa dengan Aryo dan teman-temannya?” Hatiku masih bertanya-tanya. Dari mata Aryo aku tidak melihat bahwa dia anak yang nakal. Tapi kenapa teman-temannya tidak menyukainya.

  

Jarum jam di tanganku menunjukkan pukul 18.30 saat aku turun dari masjid Jami’ kota Malang seusai sholat maghrib. Aku berniat langsung pulang untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahku. Jalanan tidak terlalu ramai petang ini. Hanya ada beberapa mobil dan motor yang melintas di depan masjid. Namun, aku mengurungkan niat memakai helmku saat sesosok anak laki-laki terlihat melintas menjauhi masjid. “Itukan Aryo? Kenapa dia masih di sekitar sini dan tidak pulang?”.

Aku segera menaiki motor dan mengikuti ke arah Aryo pergi. Saat telah dekat dengan kedai es krim yang terletak di belakang masjid, Aryo terlihat mengintip ke dalamnya. Aku pikir dia sedang memilih es krim mana yang ingin dia beli. Tapi setelah lebih dari 15 menit dia malah pergi dan duduk di atas trotoar jalan. “Aryo pasti ingin es krim itu.”. Aku memutuskan untuk membeli 2 buah es krim coklat.

“Ini, dik!” kataku menyodorkan satu es krim coklat yang aku beli setelah aku menghampiri Aryo. Aryo hanya melihat es krim itu tanpa mengambilnya, setelah itu dia menggeleng. “Gak apa-apa, Aryo. Mbak membelikan ini untuk kamu.”

Sedikit ragu Aryo mengambil es krim ditanganku dan berkata “Terima kasih, mbak!” aku membalasnya dengan senyuman lalu duduk di sampingnya.

“Kenapa kamu belum pulang ke rumah?” tanyaku padanya.

“Aryo gak tahu mau pulang kemana, mbak.” Jawab Aryo membuat keningku berkerut.

“Maksud kamu apa?”

“Aryo gak punya rumah.” Jawabnya membuatku tercengang keheranan.

“Gak punya rumah? Lalu selama ini kamu tidur dimana? Terus siapa yang ngurus kamu? Makan kamu? sekolah kamu?” tanpa sadar aku bertanya bertubi-tubi karena pernyataan Aryo.

“Hidup Aryo di jalan. Tidur di trotoar atau emperan toko. Makan ya dari hasil ngamen mbak.” Aryo berhenti sejenak, “Kalau sekolah, harusnya mbak bisa lihat dari penampilan Aryo kan? Untuk makan saja Aryo harus ngamen dulu, mana mungkin Aryo bisa sekolah.”

Dadaku perih mendengar penuturan Aryo. Entah kenapa sejak pertama aku melihat Aryo tadi, aku tertarik pada anak ini. Dia memang mengenakan pakaian yang sama seperti anak-anak jalanan lainnya. Kotor, dekil dan jauh dari kata terawat. Tapi wajahnya bukan wajah-wajah lugu atau liar seperti yang terkesan pada anak jalanan lain. Sorot matanya menyiratkan kecerdasan meski terlihat penuh dengan beban.

“Mbak sering ke alun-alun?” tanya Aryo membuat aku tersdar dari lamunanku.

“Iya. Mbak suka jalan-jalan ke sini kalau bosan. Kadang cuma buat foto-foto aja.” Aku mengiringkan senyuman. “Aryo juga ngamennya deket-deket sini?”

“Iya, Mbak. Tapi kadang juga di sekitar terminal atau stasiun.” Pandangan Aryo kosong ke depan.

“Aryo,” Aku sedikit ragu menanyakan. “Kamu kenapa gak sekolah? Apa Cuma karena gak ada biaya? Kan harusnya kamu masih dibawah tanggungan ayah-ibu kamu.”

“Dulu Aryo sekolah mbak. Sebelum bapak-ibu Aryo kecelakaan.”

“Eh, maaf, dik. Mbak gak bermaksud…..”

“Gak apa-apa mbak. Kejadiannya udah lama juga kok. Waktu Aryo masih kelas tiga. Jadi Aryo udah gak sesedih dulu.” Jawabnya sembari menunduk.

“Ya, itu bagus. Kita gak boleh larut dalam kesedihan.” Aku termenung sejenak, “Mbak salut sama kamu, Yo. Kamu yang masih sekecil ini tetap semangat bertahan hidup, tegar walaupun sendirian. Kalau mbak, belum tentu sekuat kamu. Udah segede ini aja masih bergantung sama orang tua. Mbak sendiri juga cengang, gak kayak kamu.” Aku tertawa saat mengingat-ingat kecengenaganku. Aryo juga ikut tertawa mendengarku. “Yang sabar ya, Yo!” kataku mengakhiri perbincangan malam itu.

Setelah pertemuanku dengan Aryo hari itu, aku lebih sering pergi ke alun-alun. Meski tak sedang jenuh dengan segala aktifitas, tapi aku menyempatkan untuk menengoknya. Entah kenapa, dihati tertanam rasa iba yang lebih dalam dari biasanya. Ketegarannya memberiku pelajaran. Aku pun melihat Aryo tak pernah terbuka pada orang lain selain aku. Tapi aku bersyukur dia mau bercerita tentang dirinya, masa lalunya, dan segala yang pernah terjadi dalam hidupnya. Aku pun telah menemukan jawaban mengapa setiap dia ikut dalam kegiatan yang diadakan Dewi dan tema-temannya dia hanya diam. Ternyata teman-teman yang lain menjauhinya karena Aryo dianggap sombong dan penakut. Dulu dia pernah diajak mencopet oleh beberapa anak jalanan lain. Tapi Aryo menolak, bukan karena takut, tapi karena Aryo tahu itu salah. Selain itu Aryo juga kerap menyendiri. Sebab itulah teman-temannya tak pernah menggubrisnya, malah bahkan bersikap seolah Aryo tak pernah ada.

Aku sering menemani aryo mengamen walau tak ikut turun ke jalanan. Aku menunggunya dengan duduk di halte bus terdekat. Kadang aku mengambil gambarnya. Aku suka melakukannya. Wajah jalanan yang selama ini tampak bagai punggung manusia yang tegap selalu berkesan liar dan keras. Tapi dari seorang Aryo aku melihat sisi lain dari semua itu. Aryo yang tegar, Aryo yang cerdas, Aryo yang pendiam. Dia menyimpan elegi yang begitu dalam.

Hari minggu. Seperti biasa, aku berencana akan menemani Aryo ngamen di sekitar lampu merah. Sekarang aku sedang berada di depan perpustakaan kota Malang. Aku baru saja mencari baju batik yang dijajakan di pasar minggu. Aku berniat membelikan sebuah baju untuk Aryo. Setelah dari sini aku akan langsung menuju alun-alun kota dengan motorku. Kemarin aku dan Aryo berjanji bertemu di sana.

Aku mengendarai motorku dengan tenang. Speedometerku menunjukkan kepatan 60 km/jam. Jalanan masih lenggang. Aku hampir melewati sebuah belokan tajam sebelum dikagetkan oleh mobil pick up yang menyalip motorku dengan ugal-ugalan. Dengan segera aku menarik rem tangan. Motorku berhenti dan mengeluarkan decitan. Aku shock. Andai tanganku tak sigap mungkin aku tak lagi ada di atas motorku sekarang. Beberapa pengguna jalan yang lain juga terdengar mengumpat pada supir mobil pick up itu. Aku hanya beristighfar sambil mengelus dada.

Aku segera menjalankan kembali motorku karena jalanan sudah mulai macet gara-gara ulah supir itu. Debaran jantungku masih berpacu cepat, perasaanku pun juga masih tak enak. “Ah, mungkin hanya karena shock saja.”. gumamku menenangkan diriku sendiri.

Setelah memarkir motor aku segera menghampiri Aryo yang terlihat duduk menungguku di bawah pohon rindang.

Assalamu’alaikum. Sudah lama, Yo?” sapaku.

Wa’alaikumsalam. Belum kok mbak. Tadi soalnya nganter koran dulu pagi-pagi.” Katanya sambil menunjuk beberapa koran yang masih tersisa ditangannya.

“Kamu sekarang loper koran juga?”

“Iya, mbak. Lumayan. Kemarin ada yang nawarin, jadi ya diterima aja. Buat tambahan.” Aryo tersenyum.

“Alhamdulillah kalau begitu.” Diam sejenak. Aku teringat dengan kemeja batik kecil yang tadi aku beli. “Oia, barusan mbak beli ini di pasar minggu. Kamu pakai ya! Anggap kenang-kenangan dari mbak Alna.” Aku menyerahkan bungkusan itu pada Aryo.

“Kenang-kenangan? Kayak Aryo mau kemana aja dikasih kenang-kenangan.” Aryo tersenyum malu, “Makasih ya, mbak!”

“Iya. Ya sudah, mau langsung jalan atau gimana nih?”

“Boleh deh. Ke lampu merah situ aja mbak.” Kata Aryo sambil menunjuk salah satu sudut jalan.

Aku dan Aryo berjalan bersama seperti kakak dan adik. Ya, menurutku tak salah juga dianggap begitu karena Aryo emang sudah seperti adikku sendiri. Selama berjalan kami mengobrol dan bercanda. Kadang aku melontarkan guyonan yang cukup garing untuk menggodanya. Aryo pun hanya tersenyum saat menanggapinya. Selalu begitu.

Saat kami tinggal satu belokan menuju lampu merah yang akan kami tujua, dua orang anak laki-laki seusia Aryo lari kencang. Mereka membawa dompet hitam yang pantas dipakai ibu-ibu, yang sepertinya hasil mencopet. Aku menoleh ke sebelah kanan. Lebh dari lima orang bapak-bapak mengejar dua orang itu. Aku dan Aryo hanya berdiri sedikit menepi. Tapi bapak-bapak itu malah berhenti di depan kami dan langsung menarik tangan Aryo.

“Kamu pasti teman-teman pencopet kecil itu. Ayo ngaku!” salah satu bapak berkumis tebal mencengkeram kerah baju Aryo.

“Ah, Bapak-bapak pasti salah paham. Dia bukan teman dua anak itu. Dia kesini bersama saya.” Kataku membela. Aryo terlihat ketakutan. Jantungku pun tak kalah cepat berdetak, perasaanku kembali tidak enak.

“Diam kamu! Tidak usah membela dia. Ayo cepat kasih tahu kemana teman-temanmu itu. Dan segera kembalikan dompet yang kalian copet!” Aryo hanya diam. Mungkin dia berpikir percuma melawan mereka dengan omogan, bapak-bapak itu pasti sudah sangat emosi.

Tanpa bisa aku terka sebelumnya, Aryo menangkis tangan bapak yang mencengkeramnya lalu berteriak, “Lari Mbak!”. Refleks aku berlari mengikuti Aryo meski tak bisa menjajaki langkah Aryo. Meski rok yang ku kenakan lebar tapi tetap sulit untukberlari. Beberapa kali aku enoleh ke belakang, bapak-bapak itu masih mengejar. Aku mulai kelelahan tapi aku harus terus berlari. Dan sat itulah….

Innalillah…!!!” kakiku menginjak bagian bawah rokku saat aku hendak menyebrang. Alhasil aku terjatuh. Aryo yang sudah ada di depanku segera kembali dan menolongku. Aku kembali berlari di depan Aryo. Aku sedikit binggung hendak menyebrang, jalan begitu ramai. Tapi ketakutanku mengalahkan kebingungan. Aku lagsung menyebrang melewati mobil-mobil yang lewat. Bunyi klakson menggema diiringi umpatan marah para pengendara. Setelah sampai diseberang, aku berhenti sejenak, “mereka pasti tidak akan senekat aku menyebrang seperti itu”, pikirku.

“Kamu gak apa-apa, Yo?” kataku tanpa menoleh, masih berusaha menetralkan nafasku. Beberapa saat ku tunggu jawaban, tapi tak ada jawaban apa pun. Aku menoleh dan tak mendapati Aryo dibelakangku. Dan belum sempat mencari-carinya justru terdengar bunyi…..

Cccciiitt….BRAK….

Suara klakson menyusul setelah bunyi berdecit itu. Aku menoleh dan mendapati sesosok tubuh kecil terkulai tanpa kesadaran akibat tersentuh moncong sebuah mobil. Aku terbelalak, “ARYO….!!!!!”

Kemacetan memenuhi jalan. Para pengendara mengerubungi Aryo yang telah bersimbah darah. Aku menyeruak memaksa pada kerumunan itu. Lututku lemas, aku terduduk disamping tubuh itu. Ku arih tangan kirinya, memeriksa denyut nadinya. “Innalillahi wa inna ilahi roji’un.”, air mata mengiringi ucapanku. “Aryo telah pergi. Aryo telah pergi.

Sebuah bungkusan masih tergenggam di tangan kanan Aryo. Bungkusan yang baru beberapa saat lalu masih berada di tanganku. Baju batik itu ikut berdecak darah merah. Darah yang keluar dari tubuh yang tak bersalah. Tubuh yang tertuduh. Air mataku kembali menetes, dan kata-kata Aryo kembali menggema di telingaku, “Kenang-kenangan? Kayak Aryo mau kemana aja dikasih kenang-kenangan.”.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun