Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Jurnalis - Pewarta

Penyuka Kopi Penikmat Literasi// Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Possitivity: Ketika Kebahagiaan Palsu Menjadi Beban Emosional

25 Desember 2024   16:07 Diperbarui: 25 Desember 2024   16:07 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam era modern ini, optimisme sering dianggap sebagai kunci kebahagiaan dan kesuksesan. Namun, di balik dorongan untuk selalu berpikir positif, ada fenomena yang justru dapat merugikan kesehatan mental, yaitu toxic positivity. Istilah ini mengacu pada pemaksaan untuk selalu terlihat bahagia atau berpikir positif, bahkan di tengah situasi sulit. Alih-alih membantu, toxic positivity justru dapat menekan emosi negatif yang sebenarnya perlu diakui dan diproses.

Apa Itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah sikap yang berlebihan dalam mendorong pikiran positif sambil menolak atau mengabaikan emosi negatif. Misalnya, ketika seseorang sedang mengalami kesedihan mendalam, tetapi orang di sekitarnya berkata, "Kamu harus bersyukur, banyak orang yang keadaannya lebih buruk." Kalimat ini terlihat seperti motivasi, tetapi sebenarnya mengabaikan emosi si penerima.

Fenomena ini sering muncul di media sosial, di mana kebahagiaan ditampilkan secara terus-menerus. Akibatnya, banyak orang merasa tekanan untuk selalu terlihat bahagia, bahkan jika kenyataannya mereka sedang menghadapi masalah berat.

Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?

1. Mengabaikan Emosi Negatif

Setiap emosi, baik positif maupun negatif, memiliki peran penting dalam keseimbangan mental. Ketika emosi negatif ditekan, perasaan tersebut dapat menumpuk dan menyebabkan stres atau bahkan gangguan kesehatan mental.

2. Menciptakan Standar Tidak Realistis

Orang yang terpapar toxic positivity sering kali merasa tidak cukup baik jika tidak bisa terus berpikir positif. Padahal, adalah hal yang wajar untuk merasa sedih, marah, atau frustrasi dalam situasi tertentu.

3. Menghalangi Dukungan Emosional

Ketika seseorang diberi nasihat untuk "tetap positif," mereka mungkin merasa tidak didengar. Padahal, yang mereka butuhkan adalah empati dan pengakuan atas perasaan mereka.

4. Merusak Hubungan

Pemaksaan untuk selalu berpikir positif dapat membuat orang yang sedang mengalami kesulitan merasa diabaikan atau tidak dihargai. Hal ini bisa memengaruhi kualitas hubungan interpersonal.

Contoh Perilaku Toxic Positivity

-Mengatakan, "Semua akan baik-baik saja," tanpa mencoba memahami masalah orang lain.

-Memaksakan senyuman dalam situasi yang sebenarnya menyakitkan.

-Mengabaikan kesedihan dengan berkata, "Lihat sisi positifnya."

-Menyalahkan diri sendiri karena merasa sedih, marah, atau kecewa.

Cara Menghindari Toxic Positivity

1. Akui Emosi Negatif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun