Ketika berbicara tentang kebebasan beragama, konstitusi Republik Indonesia telah menegaskan hak setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing. Hal ini tertuang dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.Â
Namun, realitas di lapangan sering kali tidak sejalan dengan semangat konstitusi tersebut, terutama ketika negara cenderung tunduk kepada tekanan kelompok intoleran.Â
Salah satu contoh mencolok adalah pelarangan kegiatan keagamaan Jalsah Salanah yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat. 6-8 Desember 2024
Kebebasan Beragama: Hak Asasi yang Tidak Boleh Ditawar
Hak atas kebebasan beragama merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Dalam konteks hukum internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 18 dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Pasal 18 juga menegaskan hak individu untuk mempraktikkan agama atau kepercayaannya.Â
Indonesia, sebagai bagian dari komunitas internasional, memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak tersebut.
Namun, pelanggaran terhadap hak ini kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Ketika Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Manislor ingin mengadakan acara Jalsah Salanah, Pemerintah Kabupaten Kuningan malah mengeluarkan larangan dengan dalih menjaga ketertiban masyarakat. Keputusan ini dinilai bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum yang menjunjung tinggi HAM.
Negara Tidak Boleh Tunduk kepada Intoleransi
Pelarangan terhadap kegiatan JAI di Manislor mencerminkan ketidakmampuan negara dalam menghadapi tekanan kelompok intoleran. Negara seharusnya bertindak sebagai penjamin kebebasan beragama, bukan justru mengakomodasi kelompok-kelompok yang menyebarkan intoleransi.
Dalam situasi seperti ini, argumen "menjaga ketertiban" sering kali digunakan sebagai alasan untuk membatasi kebebasan beragama. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, langkah tersebut justru menunjukkan kegagalan negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung hak-hak warga negara.Â
Alih-alih membatasi korban, negara seharusnya menindak tegas pihak-pihak yang mengancam ketertiban dengan menyebarkan kebencian dan diskriminasi.
Peran Negara dalam Menegakkan Konstitusi
Untuk memastikan kebebasan beragama terjamin, negara harus mengambil langkah-langkah konkret:
1. Penegakan Hukum yang Adil
Negara harus konsisten menegakkan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan tindakan intoleransi, termasuk mereka yang menyebarkan ujaran kebencian atau menghalangi kegiatan keagamaan.
2. Pendidikan Toleransi
Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai toleransi dan keberagaman harus diperkuat di semua jenjang, baik formal maupun non-formal, untuk mencegah berkembangnya paham intoleransi.
3. Memperkuat Peran Aparat Negara
Aparat penegak hukum dan pemerintah daerah harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang HAM dan kebebasan beragama. Pelatihan intensif dapat membantu mereka mengatasi tekanan kelompok intoleran.
4. Dialog Antar-Kelompok
Pemerintah dapat memfasilitasi dialog antar-kelompok masyarakat untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang keberagaman dan pentingnya hidup berdampingan.
Menolak Normalisasi Diskriminasi
Kasus pelarangan Jalsah Salanah di Manislor seharusnya menjadi alarm bagi seluruh pihak. Normalisasi diskriminasi berbasis agama hanya akan memperlemah pondasi demokrasi dan hukum di Indonesia. Negara harus menyadari bahwa toleransi bukan sekadar slogan, tetapi prinsip yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
Jika negara terus membiarkan tindakan intoleransi terjadi, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh kelompok minoritas agama seperti Jemaat Ahmadiyah, tetapi juga oleh seluruh masyarakat. Kebebasan beragama adalah tolok ukur utama kemajuan peradaban sebuah bangsa. Oleh karena itu, Indonesia harus menunjukkan keberpihakan yang tegas terhadap prinsip keadilan dan HAM.
Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi kebebasan beragama, termasuk memastikan bahwa semua warga negara dapat menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut atau ancaman. Kasus Manislor bukan sekadar persoalan lokal, tetapi ujian bagi komitmen Indonesia terhadap konstitusi dan HAM.Â
Mari kita dorong pemerintah untuk berdiri teguh melawan intoleransi demi mewujudkan Indonesia yang inklusif, adil, dan damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H