Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Jurnalis - Pewarta

Penyuka Kopi Penikmat Literasi// Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Trend Gird Zero dan Budaya Flexing di Media Sosial

24 November 2024   09:22 Diperbarui: 24 November 2024   09:34 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penggunaan media sosial (sumber gambar: Pexels)

Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda. Platform seperti Instagram menawarkan ruang untuk berbagi momen, mengekspresikan diri, dan menjalin koneksi. Namun, apa yang awalnya dirancang sebagai media untuk bersosialisasi sering kali berubah menjadi arena persaingan sosial yang penuh tekanan.  Dan pada akhirnya terkadang merasa jenuh dengan dinamika tersebut.

Ketika Media Sosial Menjadi Beban

Awalnya, Instagram bagi kebanyakan orang adalah tempat yang menyenangkan. Biasanya dipakai untuk mengunggah foto liburan, momen ulang tahun, dan berbagai kegiatan seru bersama teman-teman. Namun, seiring waktu, banyak yang merasakan apa yang dulu menjadi hiburan justru berbalik menjadi beban mental.

Setiap unggahan terasa seperti ujian, di mana jumlah like dan komentar menjadi ukuran "kesuksesan sosial, mulai membandingkan dirinya dengan orang lain---seberapa menarik kehidupannya dibandingkan dengan pengguna lain yang terlihat selalu bahagia, sukses, atau penuh gaya. Perlahan, ia merasa bahwa Instagram bukan lagi ruang untuk mengekspresikan diri, melainkan panggung untuk memenuhi ekspektasi orang lain.

Tekanan ini diperparah oleh tren flexing, di mana pengguna media sosial berlomba-lomba menunjukkan pencapaian, barang mewah, atau gaya hidup yang mengilap. Tanpa sadar, diantaranya juga terjebak dalam lingkaran ini, hingga akhirnya ia merasa lelah secara emosional.

Grid Zero: Melawan Budaya Flexing

Keputusan untuk mencoba tren grid zero bagi beberapa orang menjadi titik balik penting. Mereka menghapus semua foto dari profil Instagram-nya dan mengosongkan tampilan menjadi benar-benar bersih. Tanpa satu pun unggahan, mereka merasa lebih bebas dari tekanan sosial yang selama ini mengikatnya.

Tren grid zero bukanlah hal baru di dunia media sosial. Banyak orang, terutama generasi muda, mulai melirik cara ini sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya flexing. 

Menghapus foto atau bahkan menonaktifkan akun adalah langkah sederhana untuk kembali mengambil kendali atas diri sendiri, mengurangi stres, dan berhenti mengukur nilai diri berdasarkan standar media sosial.

Lebih dari Sekadar Anti-Flexing

Langkah untuk membersihkan grid Instagram-nya bukan hanya tentang menolak budaya flexing. Lebih dari itu, mereka ingin kembali menikmati hidup tanpa merasa perlu membuktikan apa pun kepada orang lain. Mereka menyadari bahwa kehidupan nyata jauh lebih penting daripada citra digital.

Pilihan mereka mengajarkan kita bahwa media sosial seharusnya menjadi alat, bukan beban. Tren grid zero bukan berarti kita tidak boleh menikmati media sosial, tetapi lebih kepada mengingatkan bahwa nilai diri kita tidak ditentukan oleh algoritma atau opini publik.

Menemukan Kebahagiaan di Luar Media Sosial

Setelah mengosongkan Instagram-nya, beberapa diantaranya mengaku merasa lebih bebas untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidupnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengeksplorasi hobi, berbicara langsung dengan teman, dan mengejar tujuan pribadinya tanpa merasa terikat dengan apa yang harus ia tunjukkan di media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun