Fenomena "soft quitting" atau sering disebut juga dengan "quiet quitting" tengah menjadi topik hangat di dunia kerja, khususnya di kalangan Generasi Z dan Milenial.
Istilah ini merujuk pada kecenderungan para pekerja yang hanya bekerja sesuai dengan tugas pokok dan tidak menunjukkan usaha berlebih atau inisiatif yang seringkali diharapkan oleh perusahaan.
Mereka memilih untuk bekerja sebatas jam kerja resmi, menolak melakukan pekerjaan tambahan, dan fokus pada keseimbangan hidup. Namun, apa sebenarnya penyebab fenomena ini? Mari kita telusuri lebih lanjut.
Apa Itu Soft Quitting?
"Soft quitting" bukanlah tindakan berhenti kerja secara harfiah. Sebaliknya, istilah ini menggambarkan sikap seseorang yang tidak lagi mau "melebihi ekspektasi" dalam pekerjaan mereka.
Mereka datang, menyelesaikan tugas yang diperlukan, tetapi tidak lagi menawarkan waktu atau energi ekstra untuk hal-hal di luar tugas pokok. Sikap ini tidak berarti mereka kurang profesional, melainkan mereka hanya tidak bersedia "berkorban" melebihi apa yang tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka.
Fenomena ini bukan sekadar bentuk ketidakpuasan individu. Lebih dari itu, soft quitting mencerminkan perubahan besar dalam ekspektasi dunia kerja, terutama pada generasi muda seperti Generasi Z dan Milenial yang kian menuntut keseimbangan hidup dan kebahagiaan pribadi.
Mengapa Generasi Z dan Milenial Rentan Terhadap Soft Quitting?
Beberapa faktor yang mendasari tren ini di kalangan Generasi Z dan Milenial adalah sebagai berikut:
1. Keinginan untuk Keseimbangan Hidup dan Kerja (Work-Life Balance)
Generasi Z dan Milenial sangat menghargai waktu pribadi mereka. Mereka tumbuh di era digital yang serba cepat dan cenderung lebih paham tentang pentingnya keseimbangan hidup. Bagi generasi ini, bekerja secara berlebihan bukanlah sesuatu yang diidamkan, melainkan lebih dianggap sebagai beban.
Keinginan untuk menjaga kesehatan mental dan menghindari stres membuat mereka lebih memilih soft quitting sebagai cara untuk mempertahankan keseimbangan hidup.