Dalam cermin langit yang mulai retak, Â
Angin bertiup membawa suara sunyi, Â
Mengalun di antara gemuruh janji-janji.
Oh, anak bumi yang berpijak pada tanah basah, Â
Janganlah kau pilih jalan berliku penuh onak, Â
Sebab di sana, hanya ada langkah-langkah suram, Â
Jejak-jejak yang tertoreh oleh tangan yang keji.
Ia yang mengusung bendera putih penuh darah, Â
Tak pantas memimpin desa atau kota, Â
Sebab tiada kasih yang bersemi dalam hatinya, Â
Hanya bara yang membakar nurani warga.
Dalam pesta yang kau sambut dengan tari, Â
Janganlah kau terlena oleh irama palsu, Â
Dengarlah suara burung yang berkicau lirih, Â
Membawa pesan dari hutan yang terhampar jauh.
Sebelum tinta kau tumpahkan pada kertas, Â
Renungkanlah bayangan yang tercermin di atas sana, Â
Apakah ia akan membawa cahaya pagi, Â
Ataukah hanya mendung hitam yang menyelimuti?
Janganlah kau serahkan takdir desa dan kota, Â
Pada tangan yang pernah mencabik-cabik cinta, Â
Sebab sekali cinta dikoyak oleh dusta, Â
Nusantara menangis dalam diam yang penuh luka.
Maka pilihlah dengan hati yang bijak, Â
Dengarkan suara nurani yang tak pernah berkhianat, Â
Agar bumi tetap hijau, langit tetap biru, Â
Dan rakyat bisa hidup damai tanpa rasa takut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H