Saat bendera kebenaran dikibarkan setengah tiang, Â
Dan suara rakyat digulung sunyi dalam malam panjang, Â
Kekuasaan berdiri megah, gemuruh angkuh, Â
Menenggelamkan mimpi-mimpi yang dulu riuh.
Di sudut jalan, tugu demokrasi berdebu, Â
Rakyat merintih, suaranya patah satu-satu, Â
Mereka yang dulu menggenggam harapan, Â
Kini terdiam, dipaksa tunduk dalam aturan tak bernama.
Kekuasaan bukan lagi sahabat yang menjaga, Â
Ia berubah menjadi bayangan yang menindas cahaya, Â
Menjaga takhta dengan jeruji besi, Â
Merampas hak, membungkam kata, membelai ambisi.
Di bawah langit kelam tanpa bintang, Â
Rakyat berjalan tertatih, dalam diam yang panjang, Â
Mencari setitik cahaya yang pernah ada, Â
Yang kini terkubur dalam hiruk pikuk hampa.
Dan di antara reruntuhan janji yang tak tergapai, Â
Demokrasi terkulai, dipecundangi oleh kuasa yang mengangkang, Â
Ia jatuh, tanpa pelipur, tanpa doa, Â
Dalam sunyi yang hanya didengar oleh angin senja.
Namun, lihatlah, meski ia tumbang dan terkulai, Â
Benih-benihnya tak pernah benar-benar mati, Â
Di tanah yang keras, di hati yang perih, Â
Ia menunggu, menanti musim baru, Â
Saat angin perubahan kembali berembus, Â
Dan demokrasi berdiri lagi, Â
Lebih kuat, lebih tegar, melawan kuasa yang angkuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H