Politik hukum islam dalam UU perkawinan jika diamati lebih luas ternyata menimbulkan beberapa perbedaan pendapat. Ada yang merasa bahwa penerapan nilai-nilai islam dalam UU perkawinan tidak sesuai dengan syariat itu sendiri. Beberapa kajian ilmiah pun mencoba mengulik hal tersebut sehingga menemukan beberapa poin yang mungkin menjadi alasan pembuatan UU perkawinan masih belum mencakup aturan hukum islam. Adanya kepentingan politik dan lainnya dapat menjadi alasan munculnya dinamika politik hukum islam dalam UU perkawinan.  Untuk mengetahui lebih lanjut l mengenai alasan mengapa munculnya dinamika politik hukum islam, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai  pengertian dari dinamika politik hukum islam dalam UU perkawinan berikut ini.
Apa Itu Dinamika Politik Hukum Islam Dalam UU Perkawinan?
Dinamika politik hukum islam untuk UU perkawinan merupakan gejolak antara aturan dalam politik hukum islam dan implementasinya di UU perkawinan. Bentuk gejolak tersebut dapat berupa perpotongan aturan atau perselisihan keduanya sehingga menimbulkan pertentangan. Dasar perbedaan ini dapat muncul karena adanya kepentingan politik yang membuat nilai islam dikesampingkan. Akibatnya adalah muncul aturan-aturan dengan nilai sekularisme, salah satunya dalam membuat UU perkawinan. Tumpang tindih antara kebutuhan hukum dan politik ini dapat muncul karena dua kepentingan berbeda.Â
Pertama, kepentingan politik dalam pemerintahan dalam menciptakan legal policy. Pemerintah dalam hal ini membangun aturan yang sekularisme. Namun, hal itu didasari pada kepentingan nilai sosial karena anggapan bahwa ada beberapa hukum islam yang tidak relevan dengan kehidupan pluralisme di Indonesia. Oleh karena itu lahir UU perkawinan dengan pasal-pasal islam yang substantif.
Kedua adalah adanya kepentingan hukum islam karena merasa hukum islam harusnya dilaksanakan sebagai kewajiban. Namun tentunya dinamika ini bukan alasan untuk saling bertentangan. Pada dasarnya kedua nilai memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencapai keadilan.Â
Adapun alasan munculnya dinamika politik hukum islam dalam UU Perkawinan adalah  selain adanya kepentingan berbeda antara hukum islam dan politik, masih ada alasan lain yang melatarbelakangi munculnya perselisihan ini. Alasan pertama yakni adanya faktor kepentingan dari pemerintah menjadi alasan utama UU perkawinan substansinya belum dapat sepenuhnya menerapkan hukum islam. Terutama karena Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak aliran dan kepercayaan. Alasan pluralisme ini haru dikedepankan agar kehidupan sosial masyarakat seimbang. Walaupun terdapat beberapa pasal yang penerapannya khusus umat islam. Namun jika diterapkan dalam konsep islam dapat bertentangan dengan nilai sosial masyarakat Indonesia. Misalnya saja tidak adanya pasal yang menegaskan tentang perkawinan berbeda agama. Tidak jarang umat yang ingin melaksanakan pernikahan beda agama menjadi terhambat karena penolakan dari instansi terkait. Namun, juga tidak ada penegasan pasal terkait bahwa pernikahan beda agama tidak sah. Ketidakjelasan mengenai aturan ini juga dapat berakibat pada masa depan anak. Anak yang dilahirkan dari pernikahan beda agama dapat saja kesulitan mengurus surat-surat terkait identitas resminya.
Alasan munculnya dinamika politik hukum islam dalam UU perkawinan selanjutnya adalah karena adanya warisan politik dari pemerintahan Belanda saat penjajahan. Jika dilihatdari sejarah yang ada, pemerintah Belanda juga ikut serta menerapkan hukum islam. Namun, dalam penerapannya tidak sepenuhnya dan hanya menyaring aturan yang sudah menjadi bagian kebiasaan masyarakat. Hal ini juga dilakukan pada masa pemerintahan sekarang khususnya dalam membuat UU perkawinan. Pemerintah memang menggunakan beberapa hukum islam dalam pasal UU perkawinan. Namun, hukum yang digunakan kebanyakan berasal dari adat kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, hukum islam yang lain dan dirasa oleh umat islam merupakan kewajiban terlewatkan dalam membuat pasal-pasal UU perkawinan . Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa adalah pilih-pilih dalam penerapan hukum islam. Artinya dalam pasal yang mengatur UU perkawinan yang substansinya untuk umat beragama dibuat berdasarkan hukum isam yang telah menjadi adat dalam masyarakat. Ini menjadi alasan kenapa politik kepentingan lebih banyak menjadi dasar pembuatan UU Perkawinan. Nilai yang dilahirkan dalam aturan pun menjadi bersifat formal dan hanya untuk menunjukan bahwa ada eksistensi hukum islam dalam pembuatannya.
Karena UU Perkawinan yang tidak sepenuhnya merujuk pada hukum islam. Tentu outputnya terdapat pada putusan peradilan yang tidak sejalan dengan ketentuan syariat. Oleh karena itu, menurut ulama usul al-fiqh, ada beberapa hal  yang bisa dipertimbangkan oleh hakim sebelum memutuskan peradilan, diantaranya adalah:
- Apabila terdapat salah satu pendapat telah menjadi ketetapan UU
- Apabila terdapat ketentuan yang belum menjadi UU namun telah menjadi adat budaya dalam masyarakat, maka dapat menggunakan ketentuan tersebut
- Jika tidak ada ketentuan dari dua poin di atas, maka bisa menggunakan pendapat yang ada pada negara tersebut
- Hakim dapat menentang ketentuan jika hal tersebut melanggar syariat islam.
Empat hal di atas dapat menjadi alasan munculnya dinamika politik hukum islam dalam UU perkawinan di Indonesia. Tentu saja perbedaan ini bukan alasan menimbulkan perselisihan antar umat beragama dan para pemegang kekuatan politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H