Mohon tunggu...
Nahary Latifah
Nahary Latifah Mohon Tunggu... lainnya -

Saya sedang belajar menulis. Itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Desa, Adat, dan Sekolah

10 Agustus 2012   18:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:58 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Desa Siawan di petang yang cerah itu, anak-anak menyanyi dengan semangat:

Nun jauh di sana, Borneo namanya. Hijau hutan tropis Kalimantan.

Flora dan fauna, alam, budaya dengan sejuta unik dan langka

Usia dunia tergantung kelestarian. Namun, manusia seakan tak sadar.

Para leluhur yang slalu menyampaikan amanat tolong dijaga jangan dirampas.

Hutan dan sungai sumber rejeki anak cucu kami.

Uncak Kapuas paru-paru dunia, ungkapan ahli konservasi

Kami hanya minta perhatian dunia serta menjaga dan melestarikan.


Saya tidak tahu lagu itu ciptaan siapa. Namun, Lagu itu menjadi penutup hari yang menyenangkan ini. Seharian kami belajar, bermain, bernyanyi, dan membaca buku bersama. Aku pun harus pulang keesokan harinya. Buku-buku sumbangan lewat Indonesia Menyala membawa perkenalanku dengan mereka.  Anak-anak itu sangat antusias, berebut membaca buku-buku yang kubawa dari Empangau,desa di tepi Kapuas, tempatku bertugas menjadi guru SD. Siawan adalah sebuah desa yang terletak di tepi Sungai Bunut. Perjalanan ke Siawan dari kecamatan Bunut Hilir bisa ditempuh sekitar 1/2 jam atau sekitar 2 jam dari Empangau dengan menggunakan speedboat 40 Power Knot.

Kondisi air masih pasang berarti ada pintas. Syukurlah, waktu tempuh untuk pulang tidak terlalu lama karena tidak perlu mengelilingi meander-meander sungai yang berliku. Kalau air surut, selain waktu dan jarak tempuh yang panjang, terik matahari cukup membuat badan berpeluh dan mulut mengeluh. Di jalan pintas, meski teduh, hanya ada pohon dengan batang kecil sampai tak begitu besar yang terlihat. Tak kulihat pohon dengan diameter sedekapan orang dewasa, seperti yang kulihat di televisi. Kabarnya, sudah banyak ditebang oleh warga atau perusahaan kayu waktu dulu.

Perjalanan ke Siawan adalah perjalanan kedua untuk “sampan pintar”, program perpustakaan keliling kecil-kecilan yang kugarap. Sebelumnya, buku-buku itu pernah kubawa ke Jaung I, sebuah desa di tepi danau Pengelang yang dihuni oleh komunitas Dayak Iban. Sama seperti jalur ke Siawan, perjalanan ke Jaung menjadi lebih singkat bila air sedang pasang. Perahu tempel bisa melewati sungai-sungai kecil yang menerobos hutan. Sejuk udara dipadu dengan irama dari suara satwa-satwa liar yang bersahut-sahutan mengiringi perjalananku kesana bersama dua guru SD Jaung I, Pak Ismandi dan Pak Ferry.

Waktu aku kesana, di SD Jaung I sedang ada pembagian rapor. Para siswa duduk rapi di satu-satunya ruang kelas yang mereka miliki. SD-nya pun masih numpang di rumah adat. Meski dengan kondisi seperti itu, binar semangat untuk belajar nampak di wajah mereka. Lagipula, keterbatasan itu sedikit terbayar. Siapa yang tak suka kalau pintu masuk sekolahnya langsung menghadap danau yang indah. Terbayang kalau aku jadi muridnya, pulang sekolah langsung nyebur sepuasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun