Eitsss,, tunggu dulu!!Please,, Jangan lgsg bully saya, jangan lgsg serang saya, atau banned saya, krn judul kontroversi ini. Tapi mari kita ngopi dulu. Pagi ini sejuk, semalam habis hujan di kota Jakarta. Saya tulis artikel ini pagi2 habis subuh, jadi mari kita ademkan kepala kita sejenak. Karena saya tau, kemarin, persis kemarin (24 oktober 2016), kalian habis demo di istana Negara dalam rangka hari dokter nasional. Dan salah satu tuntutan kalian adalah tolak program DLP. Ya kan??oke itu kemarin, tapi hari ini ijinkan saya menyatakan argumentasi saya, knp justru sy setuju dengan program DLP ini. Sengaja sy baru tulis hari ini, krn sy gak ingin merusak perjuangan kalian kemarin. Jadi, mari kita diskusi..
Sebelum sy jelasin panjang lebar alasan sy proDLP, ada satu syarat saya sebelum kalian meneruskan membaca artikel ini. Kita adalah dokter, di badan kita melekat dua sisi dominan, yaitu sisi kuratif dan sisi preventif. Nah, ingin saya, tolong tanggalkan dulu sisi kuratif kalian, lalu mari kita bernostalgia dengan IKM. Setuju??jika setuju mari kita lanjutkan..
Jika kita mengingat kembali ilmu IKM, preventif adlh mencegah sebelum mengobati. Dan sebaik2 pengobatan adlh pencegahan. Sampai disini kita semua sepakat bukan?. Dan ujung tombak dari kegiatan ini di Indonesia ada di PUSKESMAS. Yaaa, Pusat Kesehatan Masyarakat inilah yg menjadi episentrum kegiatan preventif, sekaligus juga kuratif. Dan preventif tentu membutuhkan dana. Lalu, siapa pemegang dana kesehatan yang diatur dlm UU SJSN?yapp.. adlah ia BPJS.
Kembali ke laptop.. Lalu, apa fundamental masalah kesehatan di Indonesia hari ini??. Mari kita sebutkan satu2. Pertama kesenjangan fasilitas kesehatan di kota dan desa. Kedua minimnya SDM di desa. Ketiga tingginya angka rujukan di rumah sakit. Keempat rendahnya anggaran kesehatan. Kelima tingginya biaya kesehatan, dlm hal ini biaya pengobatan kuratif. Lalu, dari sekian masalah tersebut, jika saya katakan solusinya ada di puskesmas, yaa PUSKESMAS, apakah anda setuju??jika setuju, silahkan lanjutkan membaca artikel ini, jika tidak maka sebaiknya jgn diteruskan.
Oke lanjut.. Lalu apa kaitannya dengan DLP??
Sabaarr, pelan2 saja yahh.. hehe.. Sebelum ke DLP mari kita ke puskesmas kebon jeruk di Jakarta barat. Sy yakin kita semua pernah membaca postingan yang sempat menjadi viral itu. Yaaa,, puskesmas yg memiliki fisik layaknya di RS swasta itu bener2 nyata adanya. Sy mencoba menghitung2 (krn sy mmg bukan orang PKM kebon jeruk) bgmn bisa puskesmas yg dulu diidentikan kumuh, padat, dan panas koq skrg bisa jadi seperti itu. Spt kita tahu, PKM adalah pengelola dana kapitasi BPJS. Sy coba searching, brp jumlah penduduk di kelurahan kebon jeruk, hasilnya adlh 39.031 jiwa. Jika dana kapitasi yg diberikan oleh BPJS ke PKM kebon jeruk adlh 12 ribu/orang, maka dana kapitasi PKM kebon jeruk adlah Rp. 468.372.000,- per bulan.
Waawww,, 468 juta per bulan coy. Sy jadi membayangkan, bgmn jika seandainya kapitasi dinaikan jadi 20rb/bulan/orang pd 2019 nanti. Maka dana kapitasi yg dikelola PKM kebon jeruk bisa mencapai 780 juta perbulan. Sebuah angka yang fantastis bukan. Lalu ada yg bertanya, koq menghitungnya bgtu?mmg nya semua di DKI terdaftar BPJS?yaa,, sy berani menghitung bgtu krn program pemda DKI adlh, seluruh penduduk yg punya KTP DKI dibayarkan premi BPJS nya oleh pemda DKI untuk fasilitas BPJS kelas 3. Artinya seluruh penduduk ber KTP DKI otomatis terdaftar BPJS kesehatan. Sebuah strategi yg brilian..
Lalu sy mencoba menghubungi kawan sy di puskesmas Tepeleo Halmahera tengah, Propinsi Maluku Utara, tempat sy PTT dulu. Disana wilayah kerja PKM nya meliputi 36 ribuan jiwa. Bagaimana kondisi disana saat ini di era BPJS?jawabannya katanya, “masih begitu2 sudah”. Jika jawabannya masih begitu2, itu artinya, alat kesehatan masih kurang, stok obat masih sering kosong, SDM dokter masih satu dokter umum, satu dokter gigi. Yaa,, begtulah sudah kondisinya disana. Lalu apa yg salah disini?sy yakin, BPJS akan membayarkan dana kapitasi yg sama untuk seluruh Puskesmas di Indonesia, tdk ada yg dibeda2kan. Krn sy juga tau dan yakin, biaya premi BPJS di kota dan di desa sama. Lalu, mengapa bisa ada kesenjangan?adil kah kalo begini caranya?lalu dimana masalahnya?. Mari kita bertanya pada rumput yg bergoyang.. Lalalala
Lalu bgmn dengan DLP?
Jawabannya, BPJS tentu tidak mau memberikan dana kapitasi sebesar itu jika tidak ada output yg sepadan dengan nilai yang diberikan. Bagi sy, Dokter Spesialis Layanan Primer adalah jawabannya. DLP akan memberikan jaminan yang akan di pegang oleh BPJS jika dana tsb suatu saat misalnya tidak tepat sasaran, tidak tepat guna, dll. Karena pd akhirnya, DLP akan menjadi leader dalam pelaksanaan program preventif sekaligus kuratif. Bukan sarjana atau pun yg lainnya. Itulah esensinya mengapa DLP (seolah2) disetarakan dengan spesialis. Ya, karena memang dana yg dikelolanya juga besar, maka pertanggung jawabannya juga besar. Dalam hal ini kita mau tidak mau akan berbicara dari segi aspek hukum.
Jika berbicara dari segi aspek hukumnya, maka harus ada legal formal. Dan legal formal harus di Undang-undangkan. Itulah mengapa pd akhirnya ada UU Dikdok. Dan UU Dikdok akan mencetak Ijazah DLP yg bersifat legal formal dan dapat dipertanggung jawabkan.