Mohon tunggu...
Naharuddin Najm
Naharuddin Najm Mohon Tunggu... dokter -

Saya adalah hamba Allah. Seorang dokter. Ketua LSM PINTARA (Pelita Ilham Nusantara), lembaga swadaya masyarakat bidang pendidikan dan kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kilas Balik (Bag Pertama)

21 Agustus 2013   08:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:02 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hhuufftt,, kuhabiskan rokok terakhirku untuk selamanya,”cukup sudah, ini terakhir kalinya aku merokok”. Kubuang puntung rokokku. ‘Tiing tuung tiing tuung, tuung tuung tuung tuung’. “Dari arah selatan, kereta tujuan Jakarta akan masuk di jalur satu, kepada penumpang yang akan ke Jakarta diharapkan bersiap”.ting tung ting tung..’  Pengeras suara itu membuyarkan lamunanku di stasiun Bojonggede, Bogor. “Baiklah udah waktunya pulang kerumah” gumamku.

Stasiun ini begitu sederhana. Terdiri atas dua prone, jalur satu dan jalur dua. Jalur satu biasanya digunakan untuk kereta-kereta yang berasal dari selatan, yaitu bogor, dan menuju ke jakarta. Sedangkan jalur dua sebaliknya. Di pinggir sekitaran jalur dua, ada berbagai macam penjual, entah itu penjual makanan ataupun hanya sekedar berjualan pulsa. Kuperhatikan hiruk pikuk orang lalu lalang di depanku. Sebagian mereka sedang menunggu kereta sambil melamun dengan batang rokok ditangannya, entah apa yang sedang ia lamuni. Dan sebagian lagi mempercepat langkahnya turun dari kereta dan segera pulang kerumah untuk kemudian segera berjibaku dengan bantal di kasur, merangkai mimpi-mimpi indah khas warga ibukota. Inilah Jakarta dengan segala hiruk pikuknya.

Kulihat jam tanganku, jam delapan malam. Jam seginilah kereta yang datang dari Jakarta dan masuk di jalur dua, sedang ramainya-ramainya. Kereta itu penuh sesak oleh para pencari nafkah yang berharap rezki dari keramahan ibukota. Mereka seperti sekumpulan pekerja lebah madu yang baru pulang dari hamparan bunga taman. Untung saja tujuanku berlawanan arah dengan mereka. Sebab berbagai macam orang bertumpah ruah dalam satu kereta. Seperti sepaket ikan sarden yang ditumpuk menjadi satu dalam kurungan kaleng besi. Apalagi kereta ekonomi non AC. Tidak jarang bisa kita lihat mereka tumpah hingga ke atas atap kereta.

Persis seperti masa kampanye 2009 yang lalu, dimana orang-orang sudah tidak lagi mempedulikan nyawa mereka hingga berdiri diatas atap metromini peyot, dengan asap knalpot yang ngebul pula. Dengan asiknya mereka bernyanyi ditemani gendang yang bertalu-talu. Tidak takutkah mereka jika suatu waktu atap itu akan jebol. Huh,,jika itu terjadi, betapa kasiannya orang yang ada di bawahnya. Sudah behimpit-himpitan kepanasan, tertimpa pula orang-orang dari atas atap. Semuanya dilakukan demi sekaos oblong yang setelah dicuci dua kali, sudah sobek keteknya. Hhh,,jaman edan…

Aku sendiri, beberapa hari ini adalah hari-hari terburuk dalam hidupku. Ya, aku yang sekarang sudah berumur 27 tahun, dua bulan yang lalu aku dan istriku telah bercerai. Umur yang seharusnya sudah mapan memikirkan keluarga dan masa depan. Tapi aku justru malah menghancurkannya. Juga merusak angan-angan seorang Muhammad Fatih, anakku, akan hidup normal bersama ayahnya. Padahal Fatih sedang lucu-lucunya, umurnya sudah satu tahun lebih. Tapi sudahlah, bagiku ini semua sudah ditakdirkan. Hidup kita ini ibarat sedang menonton sinetron. Setiap kejadian datang dan pergi di depan mata kita. Hanya bedanya, kejadian-kejadian itu melibatkan langsung diri kita, sebab kitalah tokohnya.

-o-

“Assalamualaikum,,”. Kuucapkan salam, namun tidak kudengar jawaban salamku. Kubuka pintu rumahku pelan, lampunya masih menyala. Aku langsung menuju dapur dan meletakkan tasku di depan mesin cuci yang penuh dengan pakaian kotor. Disinilah aku dilahirkan, di Jakarta Utara, di Gang Enam Kramat Jaya. Orang-orang sudah kenal, bahwa dulunya daerah ini adalah daerah texas. Preman dapat dengan mudah kita temui dimana-mana. Dengan tato mereka yang bermacam-macam. Beberapa dari tato itu aku sangsi kalo itu betulan. Jangan-jangan cuma coretan spidol bekas yang sudah lapuk ujungnya. Juga wanita-wanita pekerja malam yang kesepian, yang pakaiannya tipis dan kelihatan bodongnya. Malam-malam begini berpakaian seperti itu, tidak takutkah mereka bakal masuk angin.

Mereka berdiri di pinggir-pinggir jalan memanggil siapa saja lelaki yang lewat. Apakah itu karyawan kantoran ataupun tukang becak yang ketiban rejeki nomplok. Temanku bilang, berhati-hatilah terhadap mereka, sebab tidak sedikit diantara mereka yang banci. Itulah sebabnya ibuku selalu melarangku untuk berada diluar rumah diatas jam delapan malam. Tapi itu masa lalu, kini persis disamping gang Delapan, yang dulunya adalah area prostitusi terbesar se-Asia Tenggara, yang  laki-laki hidung belang se-asia tenggara mengenalnya dengan sebutan kramat tunggak, telah berganti menjadi Islamic Center : Alhamdulillah.

Kini, jika laki-laki hidung belang itu datang lagi ketempat ini, maka mereka pasti akan terbloon-bloon melihat perubahan yang terjadi disini. Tidak ada lagi wanita malam, yang ada hanyalah orang-orang shaleh yang berharap ampunan Allah. Mereka khusuk berdoa dalam mihrab ampunanNya. Di atas sajadah dengan tetesan airmata syahdu, para perindu syurga.

“Udah pulang run??” Tanya ibuku tiba-tiba. Saat aku pulang tadi, mungkin ibu sedang di dalam kamar. Ibuku umurnya sudah lima puluh lima tahun, masih cukup muda. Namun dapat kulihat dengan jelas kerutan-kerutan di wajahnya. Matanya yang dulu cantik, kini telah berubah. kulit-kulit yang membalut seluruh tubuhnya sudah tidak sekencang dulu lagi. Ingin sekali aku memeluk ibuku, membelai rambutnya yang sebagian besar sudah memutih. Memijit tangan dan kakinya serta pundaknya. Membuatnya nyaman dalam pelayananku, sebagaimana dulu ibu juga begitu sewaktu aku kecil.

“Iya bu, baru ajah,,”kataku.

“Gimana, dapet berapa selama lima hari jaga?”Tanya ibuku lagi. Ibu kemudian duduk disampingku di meja makan ini.

“Sembilan ratus tiga puluh bu, pasiennya sedikit,,” jawabku sekenanya dengan nada yang tidak bersemangat.

Kami berdua terdiam sejenak. Lalu aku beranjak dari dudukku kemudian berdiri di belakangnya. Dengan sigap, kuletakkan tanganku di pundaknya kemudian memijatnya pelan.

“ibu koq belum tidur?”

“ibu nungguin kamu run,,”kata ibu pelan.

“ya Allah,, ibu gak usah nungguin Harun, sampe belum tidur begitu,,”kataku pelan namun terdengar tegas.

“yahh,,mau bagaimana lagi. Ibu gak bisa tidur sampe melihat kamu pulang,,”kata ibu.

“Ya Allah,,ibu,,” kamipun terdiam lagi, cukup lama juga, ada mungkin beberapa menit. Akupun tetap berdiri di belakangnya sambil terus memijat punggungnya. Sesekali kupindahkan tangan kananku ke kepalanya. Memijat leher belakang, dan bagian temporal, di atas cambang sedikit. Bagian inilah yang paling nyaman jika di pijat.

“Lho, koq badan kamu bau rokok run?”Tanya ibu sambil mengendus-ngendus.

“Ah, masa?”aku pun mengendus-ngendus badanku. Tenyata penciumannya masih tajam juga.

“Oh iya, tadi di kereta, harun duduk disamping orang yang merokok” jawabku sekenanya. Padahal aku naik kereta ekonomi AC, mana mungkin ada orang yang merokok disamping ku. Tiba-tiba ibu beranjak berdiri. Akupun melepaskan tanganku dari pundaknya. Kemudian ibu mengambil gelas dan mengisinya dengan air, lalu meletakkanya diatas meja.

“Sebelum tidur, kamu makan malam dulu ya run. Sudah ibu siapkan untuk kamu. Ini sudah jam setengah sebelas, kamu pasti lapar,,”kata ibu sambil membuka tudung saji di atas meja makan. Aku memang belum membukanya sejak pulang tadi. Aku duduk kembali di meja makan ini.

”Iya bu, nanti harun makan. Lagian tadi udah makan koq bu, makan mie pecel di station kota”kataku.

“Oh,, ya sudah” ibuku kemudian beranjak masuk ke kamar. Aku jadi kasian ma ibu, sejak Ayah meninggal, ibu jadi kesepian. Sungguh rumah ini telah berubah, tidak seperti dulu lagi. Disini begitu sepi, sunyi seperti kuburan. Karena memang yang tinggal di rumah ini tinggal aku dan ibu. Aku pun mengambil remote tv, nonton berita malam. Jam segini bukan jam tidurku.

-o-

Namaku Muhammad Harun , aku seorang dokter, lulus dua tahun yang lalu dari UNHAS Makassar. Aku anak terakhir dari tiga bersaudara. Ayahku lahir di Bengkulu, sedangkan ibu orang Jawa barat. Namun  aku lahir besar di Jakarta, hingga SMA, hingga Allah mentakdirkan aku kuliah di Makassar. Dan terjadilah semua yang telah terjadi, semuanya datang dan pergi. Seolah-olah, Allah sengaja menggiringku ke Makassar untuk mengalami semua kejadian ini. Seandainya pilihan keduaku waktu UMPTN dulu adalah Kedokteran UNPAD, pasti ceritanya akan lain lagi.

Aku lulus dari UMPTN keduaku di pilihan kedua. Pilihan pertamanya FKUI. Waktu UMPTN pertama pilihannya juga itu, Persis. Gak tau kenapa waktu itu kupilih Unhas, padahal jauh dan nyebrang pulau pula. Hanya karena waktu itu, aku hanya ingin jauh dari orang tuaku.

Pilihan pertama adalah pilihan mereka, jurusannya juga adalah keinginan mereka. Hanya tempat pilihan keduanya adalah keinginanku. Waktu itu aku sempat berdebat dengan ayah, “kenapa gak Unpad aja?”Tanya Almarhum Ayahku waktu itu. “Gak pah, Unhas itu bagus, buktinya mahasiswa Malaysia aja berbondong2 kesana” jawabku. “Ya udahlah, asalkan kedokteran. Dan ingat, kalau selesai kamu nanti balik lagi kesini”kata ayahku.

-o-

Sembilan tahun yang lalu, di pagi itu, aku bangun subuh-subuh sekali. Berharap dapat Koran Republika pagi yang isinya pengumuman UMPTN tahun 2001. Mentari masih malu-malu menampakkan cahayanya. Udara dingin masih dapat kurasakan menusuk tubuhku hingga ke tulang-tulang. Bulan Juli adalah saat musim kemarau sedang dalam masa puncaknya. Siang hari yang begitu terik, dan malam hari yang lumayan dingin.

Setelah kudapati Koran republika, tidak kupedulikan headline di halaman muka Koran itu, karena memang bukan itu yang aku cari. Aku langsung membuka halaman ‘ekstra’ yang khusus dicetak untuk menampilkan angka-angka. Ya, angka-angka kelulusan. Hasil belajarku selama dua belas tahun dari sekolah dasar hingga tingkat lanjutan, ditentukan di Koran ini. Dengan angka-angka ini, nasibku dipertaruhkan.  Apakah aku akan lanjut sekolah, atau hanya sampai disini jenjang pendidikanku.

“211567332 atas nama Muhammad Harun”. Kutelusuri halaman demi halaman. Aku sibuk membuka-buka halaman Koran ini hingga mendapati nomor yang mendekati nomor ujianku itu. Hingga sampai di nomor, 211567330, dan “Hhh..Allahu Akbar, nomorku tidak ada”. Sebab setelah nomor itu, adalah nomor “211567336”. Nomorku terlewat, aku tidak lulus…

“Gimana nak?”Tanya ayah setelah melihatku pulang membawa Koran. Kulihat ayah sedang asik-asiknya  mengunyah pisang gorengnya, ditemani kopi pekat khas toraja. Ayah mendapatkannya dari tetangga sebelah yang baru saja pulang dari sulawesi.

“Gak ada pah, aku gak lulus..”kujawab sambil duduk lemas di meja makan.

”apa??”kata ayah sedikit kaget lalu segera menelan pisang gorang yang ada di mulutnya.

“Kamu sih, dibilangin fokus belajar, malah ngurusin organisasi. Apa itu KAPMI?gak cukup puas apa dengan jadi ketua OSIS?urus ini, urus itu, pulang malam-malam, mana sempat belajar??liat tuh kakak kamu, kuliah di UI, masa kakak kamu bisa kamu enggak?”ayahku mulai mengomel.

“Makanya kalo orang tua ngomong tuh didengerin. Ngeyel sih dibilangin,,”ibuku pun mulai menambahkan. Jadilah pagi itu, pagi berduka buatku.

Ayahku adalah seorang wiraswasta, berjualan di kios pasar koja Jakarta Utara. Yah, rejeki memang gak kemana, buktinya beliau mampu menyekolahkan dua kakakku di UI. Walaupun sebenarnya mereka juga dapat bantuan beasiswa. Sedangkan ibuku, murni sebagai ibu rumah tangga, hanya bekerja di rumah. Ayah sangat menentang keras ibu bekerja, sekalipun itu untuk membantu keuangan kami. Kata ayah, soal nafkah itu adalah tanggung jawabnya.

Pagi itu, kukeluarkan motor zuhudku, kuda kebanggaanku : Suzuki Jet Cool keluaran 86’. Walaupun tua, tapi masih mampu membawaku sampe ke Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Tempat biasa aku melakukan rapat dan kumpul-kumpul dengan teman-teman KAPMI.

KAPMI adalah organisasi tingkat pelajar se DKI jakarta, depok dan tanggerang. Malah konon organisasi ini juga ada di Aceh. Mengumpulkan Rohis-rohis tingkat sekolah dalam satu wadah perjuangan. Disini aku pernah menjabat sebagai ketua wilayah DKI Jakarta. Itulah mengapa aku begitu sibuk pulang pergi Jakarta Utara ke Jakarta Selatan untuk pergi rapat. Karena waktu itu markas pusat kami ada di daerah Mampang Prapatan.

“saya pergi dulu ya bu, Assalamualikum,,” Aku pun pamit setelah mencium tangannya. Tujuanku kali ini bukan ke Mampang Prapatan, karena seminggu yang lalu, aku baru saja mengundurkan diri, atas desakan ayahku tentunya. Tapi ke cempaka putih di Jakarta Pusat, untuk daftar RONIN di salah satu Bimbingan Belajar Kota ini.

Setahun ini, sepertinya hidupku akan penuh dengan buku, buku dan buku. Targetku lulus UMPTN 2002. Belajar sekenanya agar lulus di pilihan kedua, catat, bukan di pilihan pertama. Teman-temanku bilang, RONIN adalah kelas buangan, karena isinya adalah orang-orang yang gak lulus UMPTN. Tapi guru BIP ku bilang, ini adalah kelas pejuang. Karena perjuangan tersulit adalah berusaha bangkit setelah menelan kekalahan.

Bersambung...

Note :

Temporal : adalah istilah kedokteran yang berasal dari bahasa latin. Biasa digunakan untuk bagian kepala yang letaknya di samping kanan atau kiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun