gender, seksualitas, kemampuan, agama, atau identitas lain yang kita pilih.” Yana Shahidi.
“Ini keyakinan mendalam yang aku rasakan bahwa kita semua harus merasa layak dan berani untuk mengekspresikan hak kita seutuhnya, tidak dibatasi oleh apa pun, tanpa memandang suku, etnis, identitasUdara pagi menyapa setiap indra penduduk Desa Asri. Nyata dengan namanya. Desa ini mempunyai pemandangan yang indah dan sedap dipandang mata. Warganya juga mempunyai rasa gotong royong yang tinggi. Contohnya pagi ini, Bapak Kepala Desa Asri mempunyai program kerja mengadakan hari bersih satu bulan sekali yang diikuti semua penduduk Desa Asri.
“Bersyukur ya sya, kita bisa tinggal di pedesaan,” ungkap seorang gadis bernama Naya sambil menghirup udara pagi dalam-dalam.
“Iya, sih. Tapi rasanya lebih menyenangkan lagi kalau kita bisa tinggal di kota. Ada bioskop, mal, sekolah negeri, dan masih banyak lagi.”
Naya pun tersenyum. “Kamu benar, Sya. Tapi tinggal di desa juga nggak kalah menyenangkan. Kita mau sayur-sayuran yang segar tinggal metik di kebun. Bahkan kita bisa menghirup udara bersih yang belum terkontaminasi asap kendaraan dan pabrik. Kita juga masih bisa menempuh pendidikan. Ada saatnya kita ke kota, kok Sya. Nanti ....”
“Saat kuliah,” sambung Asya sambil tertawa dan diikuti Naya.
Di tengah-tengah kegiatan kerja bakti, mereka berdua mendapati Raka yang kesusahan mengangkat kayu seorang diri. Mereka pun datang untuk membantu. Namun, bantuannya ditolak Raka dengan alasan mereka perempuan.
“Hanya laki-laki yang bisa mengangkat ini. Kalian nyapu jalan saja, sana!”
Asya merasa tersinggung dengan ucapan Raka. “Kamu pikir perempuan gak bisa ngangkat kayu, hah?! Kita bukan perempuan lemah ya, Ka!”
“Tetap saja, kalian itu perempuan. Tidak seharusnya melakukan ini!” tegas Raka.
“Ka, niat kami baik buat bantu kamu. Kenapa kamu malah mencerminkan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki?”