Ketika terasa siksa yang belum semua tumpah
Ketika naungan cucuran duka ada sebelum waktunya
Ketika detak yang hampir lemah perlahan terasa mati tak bertenaga
Ketika kata pasrah tak terbentuk di langit-langit kepala
Entah bagaimana rasanya, hidup dengan anatomi yang tengah menuju garis usai usia
Lidah yang bergerak tak lagi melahirkan nada
Neuron tak lagi heboh saling menghantar sabda qalbu yang bersuara
Satu ucap alinea pun tidak lagi terbaca untuk bisa diminta
Realita benar-benar terjadi selanjutnya terlihat terlalu terang
Terlalu suram nan merah, siksa di sana tengah bergejolak nan menyala
Kuingat, jejeran bunga yang teramat indah di pekarangan rumah
Aku melewatinya, seraya bernafas penuh bahagia di sana
Pesonanya penuh warna, kerap membuat aku lupa cita-cita
Entah, apa tema yang dibuatkan hingga hati terpandang lupa
Entahlah, mungkin selalu besar rasaku mencintainya, terlebih ketika kusinggahi mereka di bawah matahari kita
Siapa sangka pada menit dua puluh satu engkau menoleh
Sinisnya tajam memandangi aku yang riang
Siapa sangka malaikat berdoa menyudahi tawa
Sebab lelah, memperhatikan banyaknya rahmat kubuang sia-sia
Kelak aku akan sendiri berbaring di sebuah lubang
Bukan lagi rebah di bawah kipas angin di tengah siang
Entah, adakah keluarga, sahabat dan kekasihku datangÂ
Seperti saat kuserukan namanya dari pekarangan
Entah siapa yang membalas sahutku di gelapnya kubur nanti? Â
Sementara amal yang kubuat di waktu itu tidak terlalu manisÂ
Semoga juga tidak terlalu pahit
Created By : Â Nahar
Tanggerang, 28 Juni 2021
_________________________________
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI