Belum bisa kuberkata sudahlah Â
Kepada dahaga yang terus memakan luang waktu milikku
Lelah sekali rasaanya berada wajahku menghadap kepada peraduan fana juga maya
Aku bingung, bila terus menetapkan pundak hanya kepada hitam dan putih sahaja: akrab dengan keraguan sebab berdasar ilmu yang hanya katanya Â
Kupelintir salam sang semilir angin yang ucapkan sarana untuk saran
Haruskah aku secepat itu mengambil makna syukur? lalu mengadah dengan sepasang tangan yang kumal kepada Tuhan
Haruskah selalu kuhela nafas sepanjang waktu, lalu bersandar lena seraya menatap langit dengan ala kadarnya ini peran
Sementara waktu tiada bersahabat dengan beristirahat; selalu berjalan
Inilah posisi tergembel dan termiskin di mata sebuah ilmu sedunia
Sebab kemalasan yang merajai daku dahulu, lalu menghambat dari menutur jejak ke arah segudang pustaka buku
Rasa ini bosan untuk terlalu buta
Ambigu ini akan berevolusi, kelak berubah menjadi lebih kejam jika terus kubiarkan menetap lebih lama
Pelbagai pandang niscaya hampir semua bisa menebaknya
Tiada jarang sebagian besar orang, mampu menembak hasil ini atas keyakinannya
Adalah masa tersulit untuk kumuat dalam kepalaku yang berkapasitas kecil
Terlebih telah kusimpan sebagian besar doktrin dan pornografi, dari tradisi atau kebiasaan yang telah masuk semudah mata saat melihat awan di semat mega yang terbuka
Created By: Nahar
Tanggerang, 02 Frebuari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H