Musim hujan telah tiba, puncaknya akan terjadi di minggu – minggu mendatang. Munculnya banjir besar menghantui warga Jakarta, ketika Banjir Kanal sebagai saluran untuk mengirim luapan air ke laut, tak kunjung terwujud.
Kemacetan terjadi dimana – mana. Salah satu program untuk memperlancar lalu lintas adalah pembangunan jalan bebas hambatan. Program pembangunan Outer Ringroad di wilayah Ibu Kota dan program pembangunan Trans Jawa, dikhawatirkan akan tertunda lagi.
Masalahnya ;pembebasan lahan belum tuntas
Adakah instrumen legal yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah diatas?Sebenarnya Pemerintah telah menyiapkan, yaitu Perpres No 36 Tahun 2005.Lalu mengapa tidak digunakan ? Rasanya selain ketentuan itu tidak memuat mekanisme komprehensif penguasaan tanah, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan komplikasi yang berdampak sosial, secara politis sangat membebani Presiden akan perannya dalam pencabutan hak atas tanah masyarakat secara paksa, walau demi kepentingan umum
Dengan demikian seharusnya muncul kesadaran bahwa perolehan tanah untuk kepentingan umum yang sangat krusial ini, tidaklah cukup diatur melalui Perpres, melainkan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 18 UUPA, harus diatur menggunakan Undang – Undang
Belajar dari negara – negara yang berhasil melaksakan pembangunan dengan lancar dan tertib, ternyata disana memiliki perangkat perundang - undangan yang secara efektif dapat diterapkan untuk menguasai lahan bagi kepentingan umum. Walaupun namanya berbeda – beda, di Amerika dan Canada dikenal dengan Eminent Domain Law, diInggris, Selandia Baru dan Irlandia dinamakan Compulsory Purchase Right, Afrika Selatan menyebutnya Exproration Law dan di Australia, Singapura dan Malaysia dikenal sebagai Resumption/Compulsory Acquisition Act , tetapi pada dasarnya berazas hampir serupa, yaitu ;
1.Bahwa Negara demi kepentingannya berhak mencabut hak atas tanah yang telah diberikan kepada pihak – pihak tertentu, perorangan maupun swasta
2.Bahwa pencabutan hak tidak dilakukan semena – mena, melainkan dengan memberi kompensasi berdasarkan kewajaran nilai, yang ditetapkan secara bersama dengan taksiran yang obyektif
3.Disadari bahwa perolehan tanah untuk kepentingan umum adalah program “dari rakyat untuk rakyat” yang diyakini perlu dilaksanakan dalam kerangka waktu yang telah ditetapkan.
Berlandaskan azas tersebut diatas, maka diciptakan mekanisme dan kelembagaan untuk menunjang program, seperti berikut ;
1.Penetapan kepentingan umum harus didasarkan atas perencanaan kota yang transparan dan disahkan oleh perwakilan rakyat setempat (Local Parliamentatau Dewan Kota)
2.Penetapan nilai kompensasi harus dilakukan bersama dengan menunjuk Penilai yang mandiri dan professional (Independent Professional Appraiser)
3.Bilamana terdapat perselisihan baik atas rumusan mengenai kepentingan umum ataupun tentang nilai kompensasi, akan diselesaikan dalam Pengadilan yang khusus dibentuk untuk itu (Court for Land Dispute Settlement ), yang keputusannya dilakukan dalam waktu singkat serta menginkat semua pihak
Rasanya bila Indonesia memiliki Undang – Undang tentang perolehan tanah bagi kepentingan umum, berazaskansebagaimana diuraikan diatas, pembangunan akan dapat dilakukan dengan tertib dan terkendali. Dengan demikian tidak lagi menyisakan proyek – proyek yang terbengkelai karena penguasaan lahan yang tidak selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H