Mohon tunggu...
Nugroho Suksmanto
Nugroho Suksmanto Mohon Tunggu... -

Perindu jalan sejati yang ingin tidur dalam do'a. Seorang bengil yang ngaku sufi, berhati dekil yang sok suci.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bertanya Kepada "Gus Dur" (38)

17 Maret 2010   16:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:22 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketika isi pidato kebudayaan Ulil Abshar Abdalla ditanggapi secara keras oleh ustad Zulkarnain El-Madury, saya teringat ketika Cak Nur dihujat dan dianggap Zionis, membuat saya khawatir pada nasib kaum pembaharu Islam. Bagaimana komentar sampeyan, Gus ?
.
Gus Dur ; Uraian pandangan ustad Zulkarnain patut ditengarai sebagai upaya menjaga kemurnian Islam. Salah satu ciri atau karakter dari kaum Salaf yang berjiwa militan. Ini diperlukan ketika umat berada dalam kebimbangan, untuk menggiring mereka agar mencintai kembali agamanya, tanpa keraguan. Termasuk didalamnya mencintai Rasul dan para sahabatnya, yang telah menempatkan Islam dalam kejayaan. Pada akhirnya, upaya pada kemurnian Islam tersebut, akan kembali melahirkan romantisme, yang oleh mereka dirasakan menambah nikmat menjalankan (perintah) Agama. Sehingga mereka merasakan berada lebih dekat ke sorga, seakan telah menjamah Khaliknya. Alangkah nikmatnya para Salafis yang merasakan panggilan seperti ini.
Sementara, Ulil saya lihat merasakan kepedihan atau paling tidak kegundahan, ketika Islam berada dalam “kekalahan". Dengan galau melihat bahwa romantisme ternyata tidak melahirkan moralitas yang semestinya berkembang menurut tuntutan jaman. Moralitas yang seharusnya berkembang, tidak hanya dilandasi pada aspek “dosa” dan “pahala” dalam menjalankan “amar makruf nahi munkar”, tetapi lebih pada kesadaran diri untuk mempertanyakan dan menggali apa sebenarnya yang terkandung dalam teks, untuk menjawab tantangan - tantangan perubahan, walaupun tafsirnya telah dibakukan. Agar agama lebih dirasakan masih berada dalam “konteks” peradaban. Dan ini diyakini akan kembali menempatkan Islam dalam “kemenangan”.
Saya tetap mengkhawatirkan upaya menasfirkan ayat atau teks dengan merujuk pada kepentingan perubahan atau pembaruan agar kontekstual, rasanya hanya akan melahirkan sebuah benturan. Benturan yang sebetulnya sifatnya kultural, namun karena tafsir juga ditopang dengan lahirnya sebuah kelembagaan, yang oleh kalangan pembaharu dianggap telah menjadi “tiran”, maka upaya pembaharuan tersebut tidak bisa tidak akan membentur sebuah lembaga yang kokoh serta sakral, dan ini sangat membahayakan.
Benturan ini mungkin bisa dihindari bilamana kaum pembaharu yang menamakan diri kaum Khalaf, sebelum melakukan tafsir dengan cara ijtihad, menyuguhkan konsep, dengan kehati – hatian tentunya dan tetap menjalin silaturahmi dengan Ulama - ulama besar Salafis. Sebenarnya, bayangan atau gambaran seperti apa menurut persepsi atau penghayatan mereka akan dihadirkan, sehingga perbedaan tafsir bisa disikapi sebagai sebuah perbedaan pendekatan semata, tanpa mengurangi sakralnya sebuah teks, dan tetap memberikan kesempatan kaum Salaf berpijak pada keyakinan tafsir mereka. Tanpa memaksakan perubahan tafsir yang lebih didasari oleh kepentingan berfikir secara logis, yang menghilangkan aspek romantisme instinktif dan intuitif. Karena, ini dirasakan penting bagi memenuhan kebutuhan spirituil mereka, kaum Salaf, yang lebih mengandalkan “kedalaman hati” dalam transendensi.
Dengan semangat persaudaraan dan menghilangkan segala bentuk prasangka, kehadiran perbedaan yang dilandasi perbedaan pendekatan itu akan melahirkan kesadaran, bahwa Tuhan memang ternyata sengaja memberikan opsi atau pilihan kepada umatnya untuk kemudian sadar atau tidak secara sadar menentukan menjadi kaum Salaf atau kaum Khalaf. Dan ini, dari karakter dominasi salah satu bagian otak manusia saja, sangat dimungkinkan, belum dari aspek dan kepentingan yang lain.
Manusia yang dianugerahi Tuhan dominan otak kanannya,memproses informasi dan kemudian mengembangkan nalarnya, dengan karakteristik ; berpikir secara holistik, dengan acak, lebih dapat menangkap dan mencerna hal – hal yang nyata atau berujud, memandang sesuatu secara intuitif, lebih non verbal, berorientasi pada fantasi. Ini lebih dimiliki oleh orang - orang Salaf

Sedang manusia yang dianugerahi Tuhan dominan otak kirinya, bekerja memproses informasi dan kemudian mengembangkan nalarnya, dengan ciri - ciri ; berpikir secara linier, dengan berurutan, lebih dapat menangkap dan mencerna hal – hal yang simbolik, memandang sesuatu secara logis, lebih verbal dan berorientasi pada realitas, dan ini lebih selaras dengan cara berpikir orang - orang Khalaf.

Mudah - mudah an tulisan ini ditanggapi positif oleh pihak - pihak yang sedang berseberangan.

 

 

 

 

 

 


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun