Mohon tunggu...
Pandhu nagara
Pandhu nagara Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance copywriter

perkenalkan saya Pandhu. Saya merupakan sarjana arkeologi dan mahasiswa magister sosiologi. Hobby menulis dan membuat artikel.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fakta Ironis Lomba Panjat Pinang

15 Agustus 2023   09:33 Diperbarui: 15 Agustus 2023   09:35 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

17 Agustus, hari lahirnya bangsa Indonesia, heri berdirinya hari merdekanya negara kita tercinta. Banyak hal yang kita rayakan saat bulan kemerdekaan Indonesia. Tak lain dan tak bukan ialah berbagai lomba yang kita selenggarakan baik di lingkungan rumah, kantor, dan sekolah. Namun, apakah kita semua tahu bahwa lomba-lomba hari kemerdekaan kita memiliki ironi yang tragis dari sejarah kelamnya kolonialisme di Indonesia? Mari kita ulas.

Kita semua tak asing dengan lomba panjat pinang, lomba membawa kelereng, lomba makan kerupuk dengan tangan terikat? Kita semua tak asing dengan lomba tersebut. Khususnya lomba panjat pinang. Sebatang kayu ataupun bambu dilumuri oleh minyak dan oli sehingga licin, diatas lumpur, dan pada ujung bagian atas tiang digantungi oleh beragam hadiah. Makna dari lomba tersebut ialah gotong royong, namun sejarah mengungkapkan bahwa lomba panjat pinang memiliki kisah tragis dibaliknya.

Pada masa kolonial, orang-orang Belanda tidak ingin terjamah oleh bangsa pribumi sehingga timbul "eksklusifitas" di lingkungan tersebut. Orang Belanda menganggap pribumi layaknya hewan yang dipertontonkan dan sebagai hiburan, dimulai dari hiburan seni tarian hingga hiburan dewasa bagi orang Belanda. Termasuk juga dengan pertunjukan panjat pinang. Pada masa kolonial sendiri, orang Belanda menikmati pertunjukan kelompok-kelompok orang pribumi yang berlomba untuk mendapatkan hadiah yang terdapat pada puncak pohon pinang. Tak lain dan tak bukan, pada masa lalu hadiah yang diberikan berupa bahan makanan dan uang. Mereka semua tergiur dan semangat untuk berlomba untuk menyambung hidupnya. Sementara, orang-orang Belanda sendiri asik menonton dan menertawakan mereka. Punchline nya sendiri ialah saat seorang yang berusaha untuk memanjat pohon tersebut terpeleset dan jatuh ke dalam lumpur yang berada di bawah. Pada akhirnya pun hal tersebut menjadi tontonan mewah dan mengasyikan bagi orang Belanda. Adapun, saat lomba panjat pinang sendiri merupakan ajang judi dan taruhan bagi kaum Belanda. Mereka bertaruh kelompok mana yang pertama kali menang dan mendapatkan hadiah dari lomba tersebut.

Sungguh ironis bukan? Para nenek kakek kita dipertontonkan dan digunakan sebagai alat hiburan bagi orang Belanda. Mereka semua tergiur dan berjuang untuk mendapatkan hadiah kehidupan, disaat mereka gagal mereka mendapat bahan tertawa dan olok-olokan bahkan tak jarang mendapat cacian yang keji. Namun, lomba tersebut kini diungkapkan sebagai lambang gotong royong yang menjadi jati diri bangsa Indonesia. Filosofi lomba panjat pinang dimaknai sebagai kebebasan saat merdeka dan terus berjuang walaupun jalan yang dilewati sulit dan mempertaruhkan kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun