Mohon tunggu...
NAGALANGIT
NAGALANGIT Mohon Tunggu... -

i wanna feel heaven before i die. FP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pembelaan Amatir Seorang Pegawai Ditjen Pajak terhadap Kasus Gayus

24 Maret 2011   09:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:29 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13009685961263254567

[caption id="attachment_97991" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Sebelumnya saya merefresh dulu memory saya dan berusaha mengingat kapan terakhir kalinya saya menulis di multiply sebelum tulisan ini saya tulis...yang ternyata itu adalah tanggal 7 Oktober 2008!!

wuuoww! lama juga yah. Terlalu banyak kejadian penting yang saya lewatkan untuk ditulis! Dan mumpung otak belum letih berfikir dan mata masih susah diajak merem maka saya berniat menulis masalah makelar kasus, mafia peradilan, konspirasi atw apalah itu yang entah disengaja atau tidak melibatkan salah satu pegawai Direktorat Jendral tempat dimana saya akan menghasbiskan sebagian umur saya disitu. saya adalah seorang pegawai pajak. Ketika saya mendengar banyak komentar-komentar miring yang belakangan sering terdengar baik di media atau di situs2 jejaring sosial tentang kasus Mafia Peradilan Pajak itu terus terang membuat saya ingin berteriak dengan lantam mengucapkan: "saya kerja di Pajak! tapi saya tidak kaya.." haha.. Sebagai informasi saja bahwa saya pernah merasakan bekerja di direktorat tempat bung gayus bekerja, yakni Direktorat Keberatan dan Banding. Saya ditempatkan di direktorat itu tepat sebelum saya terkena imbas modernisasi birokrasi DJP (Direktorat Jendral Pajak) yang belakangan oleh masyarakat terkenal dengan istilah remunerasi (silahkan dicari sendiri arti lengkapnya). Jadi saya kemungkinan besar saya pernah merokok bareng bung gayus di smoking area yang berbentuk tangga darurat itu. Masa kerja saya di DJP juga hampir sama dengan bung gayus yang katanya baru 5 tahunan bekerja di DJP. hoho..tapi jangan langsung mikirnya saya punya kekayaan yang sama dengan bung gayus itu yah..bukan hanya jauh berbeda bahkan malah kekayaan saya saja nampaknya tidak sopan dibeberkan di depan publik yang nantinya ditakutkan berakibat publik merasa trenyuh dan jatuh kasihan dengan saya.:) Kemarin saya secara tidak sengaja membaca tentang salah satu grup di Fac*book yang isinya mendukung "pemboikotan bayar pajak demi keadilan". WTF dude! sangat dangkal dan sempit sekali pemikiran itu.. mana ada keadilan ditegakkan dengan enggak bayar pajak!? justru pajak diciptakan agar adanya penyetaraan di masyarakat. Tarif pajak yang progresif dimaksudkan agar si penerima gaji yang besar dibebani pajak yang sebanding dengan si penerima gaji yang kecil. Justru dengan adanya kewajiban pajak bagi seluruh Wajib Pajak itu terlihat sekali bahwa negara tidak memandang seseorang dari ketampanan atau kekayaannya melainkan dilihat dari patuh tidak nya seorang warga negara menjalani kewajibannya membayar pajak. Coba jawab darimana negara bisa dapet dana untuk bangun sekolah-sekolah inpres sederhana yg murah walaupun kualitas pendidikannya dipertanyakan? Darimana negara dapet dana buat bayar gaji tentara dan guru yang sekarang malah terancam tidak mendapat perbaikan pendapatan sebagai imbas dari kasus Mafia Peradilan ini?

Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat krusial. Dan kacaunya lagi sekarang masyarakat beranggapan bahwa tempat duit-duit pajak itu berkumpul adalah di DJP!?

Perlu saya jelaskan bahwa DJP hanyalah sebagai penghimpun pajak! bukan pengumpul pajak. pajak yang dibayarkan oleh masyarakat itu larinya ke bank-bank persepsi yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai tempat penerimaan pembayaran pajak. jadi DJP sama sekali tidak berurusan dengan uang Pajak2 yg terkumpul itu. Untuk membuktikan kata-kata saya silahkan saja coba bayar pajak di loket yang tersedia di Kantor Pajak manapun. Kemungkinan besar jawaban yang muncul dari petugas loketnya adalah anda disuruh ke bank persepsi terdekat disertai dengan canda bernuansa sindiran karena sangat terlihat anda belum pernah bayar pajak. Mengenai kasus yang menimpa rekan saya gayus siapapun itu namanya, saya hanya bisa berpendapat bahwa permasalahan pokok disitu adalah tentang Mafia Peradilan yang sudah berakar yang KEBETULAN melibatkan salah seorang Pegawai DJP. Come on! gak semua pegawai pajak itu kaya dan bajingan. Bahkan dikantor saya saja banyak terdapat pegawai-pegawai tingkat menengah yang sampai sekarang masih menempati rumah kontrakan, yang tiap awal musim sekolah sibuk cari pinjaman disana-sini buat biayain anak nya masuk sekolah. Masih ada bahkan banyak pegawai Pajak yang setiap hari selalu memulai pekerjaannya dengan sholat duha di pagi hari dan berbondong2 berjamaah di masjid sekitar kantor. Mengisi waktu luangnya dengan tilawah dan zikirnya kepada Tuhan Nya. Tetapi walaupun begitu saya juga tidak menyangkal bahwa mungkin dulu sebelum DJP mengalami modernisasi dimana masih terdapat banyak celah untuk melakukan kolusi dengan Wajib Pajak, banyak pegawai pajak yang terlihat hidup bergelimangan harta dan kekayaan. Namun percayalah kawan, dengan modernisasi DJP yang telah berjalan hampir 4 tahun ini berakibat sangat merubah gaya hidup sebagian besar pegawai nya karena pengaruh berkurangnya bahkan menghilangnya sumber penghasilan-penghasilan sampingan hasil kolusi dengan Wajib Pajak. Sekarang para pegawai DJP diwajibkan untuk melakukan absen pagi paling lambat jam 7.30 dan kemudian absen pulang di jam 5.00 sore yang berarti pegawai pajak mempunyai jam kerja sebanyak 8,5 jam setiap hari kerja. Sementara undang-undang ketenagakerjaan menetapkan bahwa jam kerja normal di Indonesia adalah 8 jam sehari. Harapan saya dengan tulisan ini adalah bahwa supaya masyarakat jangan langsung mencap seluruh pegawai pajak adalah korup semua. Sangatlah tidak adil kalau penilaian kualitas suatu institusi pemerintah dilihat dari kesalahan salah satu pegawai nya yang kebetulan terlibat dalam kasus Mafia Peradilan yang lagi ramai dibicarakan. Apabila ingin berdiskusi langsung dengan saya mengenai tulisan ini ataupun permasalahan perpajakan, silahkan menghubungi saya langsung. Walaupun sebenarnya saya kurang berdedikasi dalam profesi saya, tetapi saya tidak akan bisa tinggal diam saja melihat Direktorat Jendral tempat saya mencari nafkah dirusak dan diacak-acak citranya oleh sekelompok media ataupun masyarakat yang mempunyai kepentingan sendiri. Dan sejujurnya juga saya sangat tidak perduli dengan sinetron politik berjudul Mafia Peradilan itu.haha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun