Suatu kali, mobil yang kami tumpangi terjebak lubang besar di tengah jalan. Setelah berusaha maju-mundur beberapa kali, akhirnya mobil pun terbebas. Selama proses maju-mundur itu, tidak ada yang bisa keluar dari mobil untuk melancarkan proses 'melepaskan diri'. Celakanya, bukan hanya lubang jalan depan yang menganga, ternyata ada lubang besar di belakang mobil! Terperosok kedua kalinya deh. Susah payah teman kami mengeluarkan mobilnya hingga akhirnya kami bisa kembali ke jalan yang benar. Hahaha.
Topik bahasan kami dalam mobil selanjutnya adalah reaksi para pemuda yang berada di depan warung. Mereka jelas sekali melihat mobil kami, melihat lubang besar di belakang mobil, tapi tidak melakukan apapun. Diam saja. Menonton. Seperti menonton pertandingan Piala Dunia, menantikan gawang siapa yang kebobolan, lalu berteriak kegirangan. Kami heran dengan sikap mereka. Mengapa menyaksikan orang lain celaka lebih menyenangkan daripada berusaha menolongnya?
Cerita di atas hanya satu dari sekian kejadian tidak-peduli lainnya. Contoh peristiwa kecil adalah ketika hendak masuk ke minimarket atau lift. Beberapa kali saya amati, para orang muda lebih senang 'menyerobot' masuk ketika pintu dibuka sedikit. Bukannya berusaha membukakan pintu bagi orang lain, tapi memanfaatkan kesempatan ketika ada yang membuka pintu. Mengapa perilaku aji mumpung ini muncul?
Sekarang kita lihat perilaku mengemudi di jalan raya. Konon ada orang bilang begini, "Kalau ingin tahu watak suatu generasi, lihatlah perilakunya di jalan raya". Saya belum paham benar kalimat itu, tapi ketika melihat sepeda motor dikendarai pemuda, menyerobot lampu kuning, menyalip, dan langsung tancap gas, rasanya saya tercelikkan. Apalagi ketika melihat anak-anak muda berebutan naik truk bak terbuka. Duh! Hanya bisa geleng-geleng kepala.
Imitasi Perilaku dari Lingkungan Sosial
Revolusi mental yang kerap didengungkan menurut saya menarik sekali. Memang diperlukan perubahan besar-besaran dalam hal mental agar bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Mental yang bagaimana? Aji mumpung, mengambil sebanyak mungkin tanpa peduli pada orang lain, tidak bertanggungjawab, merasa kurang terus menerus. Memang tidak semua generasi muda seperti itu. Masih banyak juga anak muda yang berkarakter baik.
Anak-anak muda ini melihat perilaku sosial di sekitarnya. Ketika tidak ada konsekuensi atas perilaku sosial itu, mereka mengambilnya sebagai perilaku mereka. Terjadi imitasi (peniruan) perilaku. Bisa dikatakan perilaku mereka adalah cerminan perilaku orang-orang dewasa di sekelilingnya. Bukankah ada ungkapan 'ikan membusuk dimulai dari kepalanya'?
Ada berapa banyak orang dewasa yang berperilaku aji mumpung? Tidak peduli pada orang lain, asalkan keinginannya terpenuhi? Tidak mau bertanggungjawab terhadap perilakunya? Berdalih apa saja hingga terasa tidak masuk akal ketika perilakunya ditegur? Masih banyak lagi sebetulnya. Dan lihatnya apa konsekuensi untuk mereka. Tidak ada! Mereka yang harusnya tidak diberi pujian, malah menjabat, berkali-kali tampil di media, seolah-olah apa yang mereka lakukan itu, tidak bermakna.
Mental Miskin
Ciri khas orang bermental 'miskin' adalah merasa terus menerus kekurangan, harus mengambil apa saja yang dibutuhkan sebelum direbut orang lain, tidak perlu memperhatikan orang lain (kita sendiri kurang kok, ngapain peduli dengan orang lain?), minder super banget. Sehingga sejumlah karakteristik tersebut, terciptalah perilaku aji mumpung, serakah, dan selfish (egois). Bagi mereka, "yang penting gue kenyang, peduli amat sama orang lain. Sebodo amat!".
Di manakah ujian bagi mereka supaya muncul mental 'miskin'nya itu? Ketika mereka mendapatkan peluang dan kesempatan, dan ketika menduduki jabatan (baik ada uangnya maupun tidak ada uangnya, alias non-profit). Maka tidak heran, perilaku berebutan makanan terjadi saat pesta prasmanan, mumpung bisa makan gratis, katanya. Padahal dandanan bajunya. Tidak heran saat ada pimpinan negara ditangkap karena korupsi. 'Lha mumpung jadi pejabat, punya kekuasaan, kenapa nggak digunakan?'. Begitulah mungkin yang terpikirkan oleh mereka itu.