Ketika uang dan politik mengalir dalam darah,
Saatnya berkata pada nurani untuk pergi menjauh,
Dan membelah dua rasionalitas,
Segenap syaraf pun sepakat ikut menyimpang,
Membuat otak pengatur malu meleleh tak berbekas,
Sungguh!
Konsentrasi kerja tersita acara sidang MKD. Dengan penuh semangat, sidang MKD yang menghadirkan Sudirman Said dan Maroef Sjamsoeddin saya ikuti. Lengkap. Jeda hanya terjadi sewaktu ada klien datang. Untungnya para YM di MKD punya etos kerja tinggi, sidang berlangsung sampai malam, jadi saya masih bisa mengikuti setelah selesai menangani klien.
Memang ada banyak skenario yang mengatakan kalau Sudirman Said sesungguhnya tidak sebersih itu. Ia pun bermain dan menjadi bagian dari kelompok besar. Seperti kata Rizal Ramli bahwa ini perang rebutan antar geng. So, nikmati saja. Rumor lain kalau sikap aneh JK ketika awal kasus ini dibuka adalah karena ia melihat kesempatan untuk menjatuhkan lawannya, baik dalam Istana sendiri maupun di DPR. Analisa demi analisa menghiasi Kompasmania..eh salah, Kompasiana, serta media sosial lainnya. Menyenangkan membacanya, paling tidak analisa itu membuka wawasan tentang situasi politik dan perekonomian di negara ini.
Namun yang ingin saya tuliskan bukan analisa semacam itu karena saya tidak mampu dan kompeten. Saya hanya mencermati fenomena sosial luar biasa ini. Dari percakapan di transkrip antara SN, MS, dan MR, terlihat kalau Presiden RI kali ini adalah orang yang sulit diatur. Dan ini bahaya untuk kelangsungan bisnis mereka. Kalau memang Pak Jokowi dianggap batu sandungan, maka saya boleh sedikit berbangga sekaligus was-was. Bangga dengan keberpihakan Presiden pada rakyatnya, tapi juga bisa memahami tekanan psikologis yang dialami Presiden. Energi psikis Presiden tidak bisa sepenuhnya digunakan untuk membangun negara dan pemberdayaan rakyatnya, tapi habis untuk mengatur strategi agar para gembong-penguras-harta-rakyat tidak makin menggila.
Sebenarnya sayang sekali ini terjadi. Kita perlu segera bertindak cepat untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa ini. Tumpukan masalah dari periode kepemimpinan lalu tak kan habis terurai bila para pimpinan negara tidak bersatu. Sinergi dan kohesivitas tampaknya belum akan muncul dalam beberapa tahun ke depan. Nasib rakyat seolah-olah tidak penting bagi segelintir orang yang merasa kaya dan berkuasa itu.
Hal lain yang saya amati adalah nafsu berkuasa dan kepemilikan materi. Kebutuhan psikologis manusia terdiri dari 3 hal (McClelland) yaitu : kebutuhan afiliasi (pertemanan), kebutuhan kekuasaan (need of power) dan kebutuhan pencapaian prestasi (need of achievement). Manusia akan melakukan bermacam cara agar ketiga kebutuhan psikologis tersebut terpenuhi. Salah satu tidak terpenuhi, maka individu yang bersangkutan berada dalam ketidakseimbangan. Tampak pada percakapan tersebut, kebutuhan berkuasa dan achievement tertinggi dalam bentuk kepemilikan kapital tanpa batas. Apakah pemenuhan kebutuhan psikologis itu salah? Tentu tidak bila dalam upaya pemenuhannya tidak melanggar etika normatif dan moral.
Ketika pemimpin tidak mampu memahami batasan etika normatif dan moral, maka kualitas kepemimpinannya buruk. Konstituennya yang menderita. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan diri untuk tidak "lompat pagar" etika tersebut demi untuk memenuhi hasratnya. Itulah sebabnya dibutuhkan suatu institusi atau lembaga untuk membantu para "pelompat pagar" ini agar bisa kembali ke jalan yang benar. Persoalan terjadi bila lembaga-pengingat ini tidak mampu menjalankan fungsinya karena seluruh insannya terobsesi dengan kebutuhan yang sama.
Harusnya kita memilih pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya, seperti kata Rm. Benny. Apa maksudnya? Selesai dengan dirinya adalah orang yang mampu menempatkan eksistensi dirinya lebih tinggi daripada sekadar upaya pemenuhan kebutuhan psikologis tersebut. Mereka adalah orang yang tidak mau "lompat pagar" karena paham benar nilai keberadaannya di dunia ini, bukan karena takut konsekuensi dari lompat pagar itu. Bukan juga karena ingin dikenal sebagai orang baik. Beyond that norm. Memang susah mencari sosok pemimpin yang tuntas selesai dengan dirinya. Tapi paling tidak ada juga yang berjuang untuk bisa menang atas hasrat terburuknya. Itulah yang layak dijadikan pemimpin.
Apa sih bedanya antara orang yang memiliki segalanya dan yang hidup di bawah garis kemiskinan? Bedanya cuman di fasilitas (istilah teman saya). Fasilitas yang menunjang kenikmatan hidup. Karena sangat banyak uangnya (sampai nggak ada nomer serinya), orang tersebut bisa memilih makan apa, di mana, dan siapa yang dimakan..hehe... Bisa memilih moda transportasi yang ingin digunakan. Mau naik becak (nggak bakalan jadi pilihan deh), naik mobil atau pesawat. Kalau sakit, bisa bayar kamar VVIP dan minta obat paling bagus. Semuanya hanya seputar fasilitas. Tapi ujung akhirnya sama. Semahal-mahalnya mampu beli peti mati atau kain kafan kualitas super, ya tetap cuman butuh 1 x 2 meter doang. Apakah mereka ingat hal itu ya?
Godaan kebutuhan kekuasaan sebenarnya merasuki semua orang, tanpa memandang latar belakangnya. Jabatan level kampung saja juga potensial untuk memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi agar mendapatkan fasilitas yang paling ter-. Semuanya ingin didahulukan, diistimewakan, dipentingkan, dan diprioritaskan. Hanya saja orang-orang seperti itu tidak konsisten. Mereka tidak berani minta pada Malaikat Maut untuk didahulukan... Beraninya cuman sama sesama manusia saja...Hahaha...
Saya berharap kasus ini bisa jadi wacana bagi masyarakat bagaimana seharusnya bersikap sebagai pemimpin karena kita semua akan mengemban tanggungjawab sebagai pemimpin dalam peran dan karir kita masing-masing.