Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mak, Untung Dulu Tidak Ada Medsos

9 September 2016   23:29 Diperbarui: 9 September 2016   23:46 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Haloo Mak... Gimana kabarnya di sana? Udaranya sejuk ya? Katanya sih di Surga lebih enak daripada di dunia. Herannya, kalau emang di sana enak kenapa nggak ada yang mau berangkat cepat-cepat ya, Mak? Ya gitulah, manusia itu.. Membingungkan. 

Mak, aku mau cerita nih. Dari dulu Emak tuh yang paling sabar ndengerin aku cerita. Karena Emak dah jauh, aku ceritanya lewat surat aja ya. Dulu kita kirim surat pakai perangko, Mak. Sekarang itu nggak laku perangkonya. Orang kirim surat pakai internet, Mak. Itu lho gelombang listrik yang bisa ngubah tulisan kita jadi butiran kecil trus dikirimkan udah jadi bentuk tulisan lagi. Mak pasti nggak paham khan? Wes itu nggak penting. Yang penting, perubahan jaman ini bikin orang mumet, Mak. Kalau nggak ngikutin, dikatain kuno. Kalau ngikutin, eh.. keblinger. Susah deh.. 

Gara-gara kemajuan teknologi, sekarang semua orang bisa kontak orang lainnya dalam hitungan detik. Mau pasang foto nggak pakai album kayak dulu, Mak. Foto aja, trus tekan tombol, klik. Satu menit kemudian tuh foto udah kesebar ke mana-mana. Keren khan... Dulu era perjuangan, sekarang era informasi. Namanya dunia media sosial, Mak. Medsos singkatannya. Di era medsos ini ada banyak kemudahan. Kalau mau hubungi orang, nggak pakai lama. Oya, di Surga sana ada medsos juga nggak? 

Tapi ya itulah, ada kemajuan, ada konsekuensinya. Orang jadi gampang ngomongin orang lain. Gampang komentar nggak pakai mikir, Mak. Otaknya dah pindah ke ujung jarinya. Nah karena ujung jarinya 10, jadinya nggak jelas hasil pikirannya. Nyebar nggak karuan tuh...hehe.. eh ya, Mak ngajarin nggak boleh ngolokin orang lain ya. Maap.. Abisnya kesel ngeliat orang-orang gampang banget menghakimi orang lain. 

Mereka itu menghakimi sampe ke ranah pribadi lho, Mak. Soal urusan beragama diurusin. Dikomentari sampe panjang lebar. Kacau deh. Mereka saling mengata-ngatai kelompok lainnya kafir. Bayangkan, Mak. Trus mereka berbuat seolah-olah mereka yang paling bener. Seolah-olah mereka yang paling paham isi Kitab Suci trus pakai ayat KS itu untuk menyerang sesamanya. Bikin resah, Mak. Aku ngrasa kayak dikelilingi monster yang siap menerkam siapapun yang alirannya nggak sama. Bagi mereka, Tuhan sudah mati, Mak. Jadi mereka yang (ngrasa berhak) nggantiin posisi Tuhan untuk menghakimi manusia. 

Untung waktu Mak pindah agama dulu itu, nggak ada medsos. Coba kalau dah ada medsos, wah... bisa rame banget. Bisa-bisa Mak populer kayak bintang film. Aku nggak bisa bayangkan apa yang bakalan terjadi.. Emak bisa dikomentari macem-macem. Bagi pemeluk agama lama, Mak disebut murtad. Dijamin nggak bakalan masuk Surga (katanya). Bagi pemeluk agama baru, Mak bakalan banjir sambutan. Trus ujung-ujungnya bisa ditebak. Terjadi perang pendapat di medsos tentang kepindahan agama seorang emak. 

Dulu orang masih punya rasa sungkan terhadap orang lain. Masih ada batas rasa. Tuhan masih menjadi patokan hidup. Tapi kesulitan ekonomi dan kemajuan teknologi membuat orang tersesat. Agama bukan lagi penuntun jalan hidup, Mak. Tapi agama dijadikan komoditas. DIperjualbelikan untuk mengisi perut lapar. Padahal seingetku nih, Mak, yang bisa bikin perut kenyang itu pindang goreng... Ya gitulah, Mak, makanan orang modern emang aneh-aneh. Kalau dulu cukup perut yang dikenyangkan, sekarang ego pun perlu dikasih "makan". Seandainya mereka sadar kalau komentar-komentarnya itu bukan bekal yang pas untuk masuk Surga... atau jangan-jangan mereka nggak percaya kalau Surga itu ada ya, Mak? Masa sih Emak mesti turun ke sini buat ngasih tahu? Ihhh... Jangan deh.

Aku tuh pengen ngasih tahu ke orang-orang itu, Mak. Apa sih manfaatnya bikin ribut? Padahal kalau kita semua hidup rukun, semua hal baik bakalan mengalir. Bener khan, Mak? Justru kita harusnya bisa mengoptimalkan semua potensi kita untuk menjaga kerukunan beragama karena informasi gampang diakses. Ada banyak pilihan mau share berita positif atau yang negatif. Eh bentar, Mak tahu artinya share ya? Itu lho macam bagi-bagi... Seandainya mereka hanya milih berbagi info positif, alangkah indahnya dunia... Tapi trus setan kerjaannya apa ya? Bisa pensiun dini dong.. Ntar ngadu ke Tuhan gara-gara semua manusia nolak digodain.. Hmmm... Repot juga yak.. 

Ya deh, Mak, udah dulu surat curhatku ini. Aku mau nonton Stand Up Comedy aja. Mendingan cari hiburan daripada ngomongin masa lalu seorang tokoh di negeri ini. Nggak ada manfaatnya, malah yang ada rugi. Ngabisin jatah, ngurangi pahala, nambah dosa... Belom tentu kita nggak punya masalah juga. Mak dah ngantuk juga ya? Ada AC nggak di sana, Mak? Di sini panas.. Bukan karena udaranya aja sih, tapi gara-gara milih kepala daerah.. Kayak dah mau kiamat aja. Semua cacian segala jenis tumplek blek di situ.. Hadeeehhh... 

Met malem, Mak. You are the best grandma yang pernah aku punya *sok english nih*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun