"Kalian, atau saya yang keluar kelas!"
Ancaman serius dari seorang dosen ditujukan pada kami, para mahasiswa semester 5. Persoalannya sebenarnya sederhana (bagi kami), tapi tidak bagi dosen tersebut. Puncak kekesalannya diluapkan dalam bentuk pengusiran mahasiswa dari kelasnya. Respon pertama saya : menoleh ke kanan kiri. Ingin tahu tanggapan teman-teman. Patokan tindakan saya adalah ketua senat kami..hehe..
Ternyata beberapa orang berdiri, keluar kelas. Tanpa bicara. Saya ikut. Berada pada urutan ke lima. Tidak lama hampir seluruh isi kelas keluar ruangan. Giliran si dosen sendirian. Suasana tidak mengenakkan. Kemudian beliau pun keluar ruangan dan menuju ke ruang dekan! Serempak kami berpandangan, masing-masing tahu apa yang akan terjadi berikutnya.
Pengalaman hari itu tidak akan pernah saya lupakan. Saya belajar satu hal : Jangan pernah memberikan ancaman yang salah pada siswa karena akan mempermalukan diri sendiri. Persoalan antara dosen tersebut dengan mahasiswa berakhir tidak begitu baik, karena dekan menemukan kesalahan pada pihak dosen. Makin tidak menyenangkan sikap beliau terhadap kami.
Ancaman semacam itu menunjukkan sebenarnya pihak pengajar tidak percaya pada dirinya. Ia tidak mampu mengendalikan kelas dan tidak berani mengakui kesalahannya. Berharap dengan otoritas yang dimilikinya, ia dapat berbuat apa saja. Salah!
Ketika saya sendiri menjalani karir sebagai tenaga pengajar di Perguruan Tinggi, saya pernah menghadapi situasi yang membuat saya mengeluarkan ancaman pada mereka. Instruksi saya untuk membaca dan membawa buku dalam kelas diabaikan. Ketika saya tegaskan sanksinya sesuai kesepakatan, ada beberapa mahasiswa yang menentang secara terbuka. Mempertanyakan ketentuan saya bahwa untuk kuliah harus bawa buku. Paling enak memang mengusir mahasiswa yang bersangkutan agar proses belajar mengajar berlangsung lancar. Tapi saya tahu saya tidak bisa lakukan itu. Saya ingat juga ancaman salah dari dosen saya bertahun-tahun lalu. Kesalahan itu tidak akan saya ulangi.
Dengan teknik tertentu saya berhasil membuat mahasiswa yang membawa buku (dan sudah membacanya juga) bersikap tegas terhadap rekannya yang tidak bawa buku. Ujung-ujungnya para mahasiswa yang tidak bawa buku keluar dari kelas, ada yang mencari pinjaman, ada yang ngambek (dengan saya), ada yang sekedar ikut keluar kelas. Tidak sampai 45 menit kemudian, hampir semua mahasiswa kembali ke kelas dengan buku pinjaman, ada juga yang fotokopi materi hari itu.
Pelajaran berharga bisa kita dapatkan dari guru yang tidak bijak. Bukan hanya guru yang baik saja yang bisa kita kenang. Bukankah pengalaman (orang lain) adalah guru yang berharga?
Sikap lainnya saya pelajari dari guru sekolah SMP. Beberapa guru senang sekali membandingkan saya dengan adik saya (laki-laki). Jelas saja kami berbeda jauh. Saya senang belajar tekun di kelas, adik saya senang sekali berteman dan nongkrong di kantin. Saya tipe kutu buku, sedangkan adik saya dijauhi kutu! Akibatnya relasi kami berdua tidak akur, karena adik saya merasa dia juga punya kelebihan, sedangkan saya merasa lebih unggul. Hal ini tentu tidak menyenangkan.
Sebisa mungkin saya tidak membandingkan mahasiswa saya dengan saudaranya. Dan saya berhasil! Iya, sungguh. Anda tahu kenapa? Karena sepanjang karir saya sebagai dosen selama hampir 17 tahun, saya ketemu mahasiswa kakak adik hanya 1 kali...hahaha... Tidak membandingkan itu susah, membutuhkan kesadaran penuh. Sebaliknya, membandingkan itu manusiawi. Tidak butuh usaha, langsung otomatis. Ya kan? Pelajaran itu saya terapkan dalam mendidik kedua anak saya. Berhasil? Ya tentu saja tidak 100%! Saya 'kan manusia juga *nyengir*.
Guru Yang Mengajar Sepenuh Hati, Menghasilkan Perubahan Sikap Siswa