Lee Kuan Yew berhasil menyulap Singapura dari negara yang tanpa sumber daya menjadi negara yang kaya raya dan diperhitungkan. Ketegasan, visi dan komitmennya layak diacungi jempol. Kini saat jenazahnya terbaring, ada banyak orang yang merasakan kehilangan. Memang Singapura negara kecil, jauh lebih mudah mengaturnya dibandingkan Indonesia. Apakah memang demikian? Apakah memang masalah Indonesia karena luasnya wilayah atau tidak ada pemimpin yang seperti Lee Kuan Yew?
Keberhasilan beliau mengembangkan Singapura membuat saya berandai-andai. Seandainya saya cicitnya yang tinggal di Indonesia. Dulu semasa muda, Lee Kuan Yew pernah tinggal di Semarang. Nah, saya membayangkan salah satu keturunannya yang masih “ketinggalan” di Indonesia. Saya, cicitnya, pasti akan merepotkan beliau dengan beragam keluhan, mulai jembatan rusak yang hampir makan korban, korupsi yang sudah jadi budaya, harga kebutuhan pokok yang naik terus (ogah turun!), harga BBM yang naik turun, dan sebagainya. Kira-kira apa yang akan Engkong Lee lakukan ya?
Mungkin Engkong saya itu akan menyampaikan visinya dulu. Sebagaimana dulu beliau mencanangkan visi untuk Singapura. Lalu Engkong akan memilih para pemimpin yang sevisi. Mengingat kekuatan pribadinya, ia tidak akan menuruti pesanan kanan kiri tentang siapa yang berhak masuk dalam jajaran Pemerintahannya. Tapi memangnya siapa yang berani bisik-bisik ke beliau ya?
Setelah itu Engkong akan mengubah kebiasaan penduduk. Bisa jadi larangan makan permen karet diterapkan di sini. Perkiraan saya sih, beliau akan menegaskan hukuman bagi para pembuang sampah sembarangan. Apalagi orang yang senangnya buang sampah ke sungai. Revolusi kebiasaan berikutnya bisa jadi beliau akan menerapkan kebiasaan hidup bersih dan sehat. Reformasi birokrasi bakalan jadi langkah berikutnya. Jaminan Pemerintahan bersih bebas korupsi penting untuk menjamin pertumbuhan ekonomi.
Satu hal yang saya tahu Engkong Lee akan kerja keras dan mungkin akan menggelengkan kepala (tanda heran mungkin ya) adalah mengubah perilaku kepemimpinan para pejabat. Beliau akan kewalahan mengajari para pemimpin itu untuk tidak memikirkan dirinya sendiri, berfokus pada kebutuhan rakyat dan miliki integritas. Jangankan Engkong, saya saja juga menggelengkan kepala sampai pusing kok. Sebagus apapun sumber daya suatu negara kalau para pemimpinnya tidak bisa diandalkan, mana bisa optimal pengembangannya?
Mengutip pendapat Engkong saya itu pada beberapa kali kesempatan, bahwa perubahan dimulai dari pendidikan, saya menduga sistem pendidikan yang akan dapat giliran berikutnya. Perubahan perilaku, paradigma dan sikap memang dimulai dari pendidikan formal. Menciptakan ciri khas budaya suatu bangsa pun dimulai dari bangku sekolah dasar. Bukan ketika seseorang masuk ke dunia pekerjaan. Saat ini saya bisa membisiki beliau, “Kong, menteri pendidikan kita sekarang ini bisa diajak kerjasama lho. Kompetensi dan kepedulian okay lho..”. Saya membayangkan beliau akan manggut-manggut. “Iya”, katanya sambil ketawa. Semoga beliau percaya pada bisikan saya.
Ya, semua itu hanya khayalan saya saja. Seandainya memang kita bisa meminjam Lee Kuan Yew sebentar saja, sekitar 2 tahun, kemungkinan kondisi saat ini bisa berubah menjadi lebih baik. Yaa.. semoga seperti itu. Atau lebih realistis lagi, semoga ada pemimpin seperti Engkong Lee di Indonesia ini. Berharap sangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H