Mohon tunggu...
nafis mubarock
nafis mubarock Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

“Peran Keberadaan Pondok Pesantren Dalam Sistem Pendidikan di Indonesia”

20 Mei 2015   20:49 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 5851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, tiada kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukur, selain puja dan puji bagi Allah SWT. Sang penguasa hati dan kehidupan hamba-hamba-Nya. Dengan perkenan dari-Nya-lah kami sanggup menyelesaikan makalah tentang “PERAN KEBERADAAN PONDOK PESANTREN DALAM SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA” ini dengan lancar.

Makalah ini disusun selain guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam juga untuk memberikan tambahan wawasan kepada pembaca mengenai kesehatan mental. Sehingga menjadi bertambah pula pengetahuan tentang hal tersebut.

Ucapan terimakasih kami persembahkan kepada teman-teman atas segala masukan dan pemikirannya dalam menanggapi hasil makalah dari kami. Pekerjaan BESAR adalah pekerjaan kecil yang dilakukan dengan CINTA yang BESAR.

Salatiga, 10 Mei 2015

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai sejarah panjang dan unik. Secara historis, pesantren termasuk pendidikan Islam yang paling awal dan masih bertahan sampai sekarang. Berbeda dengan lembaga – lembaga pendidikan yang muncul kemudian, pesantren telah sangat berjasa dalam mencetak kader – kader ulama, dan kemudian berperan aktif dalam penyebaran agama Islam dan transfer ilmu pengetahuan. Namun, dalam perkembangan pesantren telah mengalami transformasi yang memungkinkannya kehilangan identitas jika nilai – nilai tradisonalnya tidak dilestarikan.

Karena keunikannya itu maka pesantren hadir dalam berbagai situasi dan kondisi dan hampir dapat dipastikan bahwa lembaga ini, meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana dan karekteristik yang beragam, tidak pernah mati. Demikian pula semua komponen yang ada didalamnya seperti kyai atau ustad serta para santri senantiasa mengabdikan diri mereka demi kelangsungan pesantren.tentu saja ini tidak dapat diukur dengan standart system pendidikan modren dimana tenaga pengajarnya dibayar, karena jerih payahnya, dalam bayaran dalam bentuk material. (Nata, 2001: 100)

Dengan begitu, pesantren tentu saja tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan nasional Indonesia. Makalah ini menjelaskan tentang pondok pesantren dalam sistem pendidikan nasional yang meliputi kajian tentang: pondok pesantren di antara madrasah dan sekolah, pola pengembangan kurikulum di ponpes dan kebijakan departemen agama dalam pengembangan ponpes.

B. Rumusan Permasalahan

1.Bagaimana peran pesantren dalam memajukan pendidikan nasional?

2.Bagaimana pola pengembangan kurikulum pesantren?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Peranan Pondok Pesantren dalam Memajukan Pendidikan Nasional

Peran pesantren dalam memajukan pendidikan nasional telah membuktikan eksistensinya. Keperipurnaan pondok pesantren harus dipahami dan dilihat dari berbagai aspek.

Pada awal tahun70-an, sebagian kalangan menginginkan pesantren memberikan pelajaran umum bagi para santrinya. (Noor, 2006: 56) Hal ini melahirkan perbedaan pendapat di kalangan para pengamat dan pemerhati pondok pesantren. Sebagian berpendapat bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang khas dan unik harus mempertahankan ketradisionalannya. Namun pendapat lain menginginkan agar pondok pesantren mulai mengadopsi elemen-elemen budaya dan pendidikan dari luar. (Madjid, 1985: 126)

Dari dua pandangan yang berbeda tersebut, terlahir pula keinginan yang berbeda di kalangan para pengelola pesantren. Kelompok pertama menginginkan agar pesantren tetap mempertahankan posisinya seperti semula dengan sistem yang khas. Sedangkan kelompok ke dua menginginkan agar pesantren mulai mengadopsi atau mengakodmodasi sistem pendidikan sekolah atau madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren.

Akhirnya terjadilah persentuhan antara pondok pesantren dengan madrasah dan sekolah. Dalam sejarah perkembangan pesantren, disebutkan bahwa pondok pesantren, masih berbentuk surau, yang pertamakali membuka pendidikan formal adalah Tawalib di Padang Panjang pada tahun 1921, sedangkan di Jawa adalah pesantren Tebu Ireng Jombang pada tahun 1919 menyusul pondok modern Darussalam Gontor pada tahun 1926. (Zuhairini, 1992: 193)

Pondok pesantren yang memiliki kreteria tertentu dianggap telah mapan, didukung oleh persyaratan yang cukup mapan, seperti bangunan, tanah, guru yang berkompeten, murid-murid yang banyakserta tersedianya tenaga administrasi. Pondok pesantren yang seperti inilah yang dianggap layak untuk mengakomodasi sistem pendidikan formal atau elemen pendidikan lainnya yang berasal dari luar. Sebaliknya, pondok pesantren yang tidak memiliki dan memenuhi kriteria di atas tentu saja tidak bisa memaksakan kehendak untuk mengadopsi sistem pendidikan dari luar. (Noor, 2006: 58)

Selain itu ada beberapa alternatif yang juga dikembangkan di lingkungan pesantren. Ada yang mengakomodasi sistem pendidikan formal ala sekolah umum atau madrasah dengan tetap mempertahankan sistem pendidikan pesantren, dengan memisahkan area untuk sekolah madrasah atau sekolah umum dengan area khusus untuk pesantren. Murid-murid yang bersekolah di sekolah umum pesantren tersebut mengikuti kurikulum pendidikan nasional, seperti mengikuti uas dan uan. Mereka tidak tinggal di asrama, akan tetapi tinggal di rumah masing-masing. Sementara santri yang mengikuti pendidikan pesantren tinggal di asrama dan mengikuti program pendidikan pesantren yang relatif independen dari kebijakan-kebijakan departemen agama dan pendidikan. Guru-guru yang mengajar di pondok pesantren dengan sistem seperti ini secara umum dikategorikan kepada dua kelompok yakni guru-guru yang berasal dari pesantren dan yang berasal dari luar. Umumnya, guru-guru tersebut mengjar pelajaran umum. Contoh pesantren seperti ini adalah Pondok Pesantren Darunnajah Cipining Bogor.

Bentuk atau opsi ke dua adalah pesantren yang menggabungkan sistem pendidikan formal ala madrasah atau sekolah umum lainnya dengan sistem pendidikan pesantren tanpa memisahkan kelas-kelas atau area untuk ke dua sistem pendidikan yang berbeda ini. Para santri tetap tinggal di asrama, mengikuti uas dan uan dan juga mengikuti agenda-agenda kepesantrenan yang tidak terdapat di madrasah atau sekolah lainnya. Guru-guru yang mengjar di pesantren ini relatif sama dengan di atas. Bentuk pesantren yang seperti inilah yang sekarang banyak ditemui.

Akomodasi pesantren terhadap sistem atau elemen pendidikan luar ini tentu saja membawa pengaruh negatif terhadap pesantren itu sendiri:

1. Kehadiran para siswa sekolah atau madrasah di lingkungan pondok pesantren sedikit banyak akan mengganggu aktifitas dan agenda-agenda kepesantrenan. Para santri yang memang ingin mengecap pendidikan pesantren akan merasa tidak betah dengan kondisi yang demikian.

2. Kemungkinan terjadinya kesenjangan antara murid, guru dan pengelola pesantren dengan madrasah atau sekolah umum pesantren besar peluang terjadi.

3. Ada juga kemungkinan bahwa pesantren akan terkucilkan. (Noor, 2006: 58)

Permasalahan status pesantren di antara pesantren, madrasah dan sekolah umum tampaknya dipicu oleh sistem pendidikan nasional yang terlalu lamban mengakui ijazah pesantren yang tidak mengikuti program pendidikan nasional. Terbengkalainya agenda-agenda kepesantrenan sering bermula dari keinginan untuk menggabungkan sistem pendidikan nasional dengan sistem pendidikan pesantren. Pesantren yang begitu padat aktifitas kepesantrenan mau tidak mau harus memikirkan nasib para santri setelah lulus dari pesantren tersebut, sementara ijazah pesantren pada umumnya (kecuali akhir-akhir ini) tidak diakui di perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini tentu memaksa pengelola pesantren untuk tetap mengikuti agenda departemen pendidikan dan departemen agama.

Contoh yang sangat mudah di temui adalah agenda ujian di pesantren, pada umumnya, di pesantren modern yang telah menggunakan sistem kelas mengagendakan dua ujian kepesantrenan dalam setahun. Ujian ini kemudian ditambahi dengan dua agenda ujian dalam setahun yang berasal dari dinas pendidikan atau departemen lainnya.

Contoh lain adalah sistem pesantren yang tidak membagi jenjang pendidikan kepada dua tsanawiyah atau smp dan aliyah atau smu. Santri yang pindah dari pesantren tanpa menyelesaikan pendidikan hingga jenjang terakhir, ketika mendaftar ke madrasah atau sekolah umum, jika ia tidak memiliki ijazah sah nasional, maka ia harus mengulang dari kelas awal.

Akhir-akhir ini, peluang pesantren untuk bisa mengembangkan diri secara independen tampaknya mulai terbuka. Sebut saja seperti lahirnya undang-undang yang mewajibkan pendidikan sembilan tahun, beberapa dekade ke depan besar kemungkinan diwajibkannya pendidikan hingga jenjang SMU dan sederajat.

B. Pola Pengembangan Kurikulum Pesantren

Pada awalnya berdirinya, pesantren merupakan media pembelajaran yang sangat simple. Tidak ada klasifikasi kelas, tidak ada kurikulum, juga tidak ada aturan yang baku di dalamnya. Sebagai media pembelajaran keagamaan, tidak pernah ada kontrak atau permintaan santri kepada kiai untuk mengkajikan sebuah kitab, apalagi mengatur secara terperinci materi-materi yang hendak diajarkan. Semuanya bergantung pada kiai sebagai poros sistem pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode, bahkan kitabyang hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kiai secara penuh. (Haedani, 2004: 80)

Dua model pembelajaran yang terkenal pada awal mula berdirinya pesantren adalah model sistem pembelajaran wetonan non klasikal dan sistem sorogan. Sistem wetonan/bandongan adalah pengajian yang dilakukan oleh seorang kiai yang diikuti oleh santrinya dengan tidak ada batas umur atau ukuran tingkat kecerdasan. Sistem pembelajaran model ini, kabarnya merupakan metode yang diambil dari pola pembelajaran ulama Arab. Sebuah kebiasaan pengajian yang dilakukan di lingkungan Masjid al-Haram. Dalam sistem ini, seorang kiai membacakan kitab, sementara para santri masing-masing memegang kitab sendiri dengan mendengarkan keterangan guru untuk mengesahi atau memaknai Kitab Kuning.

Lain dengan pengajian wetonan, pengajian sorogan dilakukan satu persatu, dimana seorang santri maju satu persatu membaca kitab dihadapan kiai untuk dikoreksi kebenaannya. Pada pembelajaran sorogan ini, seorang santri memungkinkan untuk berdialo dengan kiai mengenai masalah-masalah yang diajarkan. Sayangnya banyak menguras waktu dan tidak efesien sehingga diajarkan pada santri-santri senior saja.

Pada dasarnya, dalam pesantren tradisional, tinggi rendahnya ilmu yang diajarkan lebih banyak tergantung pada keilmuan kiai, daya terima santri dan jenis kitab yang digunakan. Kelemahan dari sistem ini adalah tidak adanya perjenjangan yang jelas dan tahapan yang harus diikui oleh santri. Juga tidak ada pemisahan antara santri pemula dan santri lama. Bahkan seorang kiai hanya mengulang satu kitab saja untuk diajarkan pada santrinya. (Haedani, 2004: 82)

Pada abad ke tujuh belasan, materi pembelajaran pesantren didominasi olehmateri-materi ketahuidan. Memang pada waktu itu ajaran ketauhidan dan ketasaufan menduduki urutan yang paling dominant. Belakangan, sejalan dengan banyaknya para ulama yang berguru ketanah suci, materi yang diajarkannya pun bervariasi.

Dari sekian banyak tipe pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagai para santrinya, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk pondok pesantren:

1. Pondok Pesantren Salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam, serta kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya.

2. Pondok Pesantren Khalafiyah, yaitu pondok pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan pendidikan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau madrasah).

Pada mulanya kiai merupakan fungsionaris tunggal dalam pesantren. Semenjak berdirinya madrasah dalam lingkungan pesantren inilah, diperlukan sejumlah guru-guru untuk mengajarkan berbagai macam jenis pelajaran baru yang tidak semuanya dikuasai oleh kiai. Sehingga peran guru menjadi penting karena kemampuan yang dimilikinya dari pendidikan diluar pesantren. Dan sejak saat itu kiai tidak menjadi fungsionaris tunggal dalam pesantren.

Mengikuti perkembangan zaman, beberapa pesantren mulai memasukkan pelajaran keterampilan sbagai salah satu materi yang diajarkan. Ada keterampilan berternak, bercocok tanam, menjahit berdagang dan lain sebagainya. (Haedani, 2004: 130) Disisi lain ada juga pesantren yang cenderung mengimbangi dengan pengetahuan umum. Seperti tercermin dalam madrasah yang disebut dengan “modern” dengan menghapuskan pola pembelajaran wtonan, sorogan dan pembacaan kitab-kitab tradisional. Dengan mengadopsi kurikulum modern, pesantren yang terakhir ini lebih mengutamakan penguasaan aspek bahasa. Pada masa sekarang ini, banyak pesantren yang melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan rasio 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajarana agama.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dilema status pondok pesantren antara madrasah dan sekolah umum merupakan dilema yang sudah lama dihadapi pesantren. Ada beberapa penyebab munculnya dilema ini termasuk faktor sistem pendidikan nasional.

Pondok pesantren yang dahulunya sistem pengajaran dan materi pengajarannya terfokus kepada ilmu-ilmu kegamaan, mulai berkembang dengan mengakomodasi elemen-elemen kurikulum dari sistem pendidikan nasional. Tuntutan sistem pendidikan di Indonesia telah mengharuskan pesantren untuk mengikuti atau menyetarakan standarnya dengan kurikulum pendidikan nasional.

Seiring dengan tuntutan tersebut, departemen yang berkaitan dengan pesantren juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang turut memajukan dan memberikan peluang bagi pesantren untuk mengembangkan diri.

DAFTAR PUSTAKA

Haedani, H. Amin M.Pd dkk, Panorama, Pesantren Dalam Cakrawala Modern. Jakarta: Diva Pustaka, 2004.

Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: P3M, 1985.

Nata, Abudin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga – Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grafindo persada, 2001.

Noor, Mahpuddin. Potret Dunia Pesantren. Bandung: Humaniora, 2006.

Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun