Kasus pemerkosaan santriwati di Bandung, Jawa Barat telah terungkap setelah salah satu orangtua melaporkan kepada pihak kepolisian pada bulan Mei 2021. Kasus tersebut telah memasuki tahap Persidangan di Pengadilan Negeri Bandung yang dipimpin oleh ketua mejelis hakim Y Purnomo Sutya Adi, dan dilakukan secara tertup. Diketahui Herry Irawan seorang guru sekaligus pemilik pesantren tersebut telah melakukan perbuatan kejinya semenjak 4 Tahun yang lalu. Herry Irawan mengiming-imingi bahwa seorang santri harus lebih takut kepada gurunya, sehingga mau untuk melakukan apapun yang diperintahkannya.
      Awalnya, salah satu orangtua dari korban mendedak agar anaknya untuk menjelaskan apa yang telah dilakukan oleh gurunya. Awalnya anak tersebut tidak mengaku karena takut, setelah dipaksa anak tersebut mengakui bahwa telah dihamili oleh gurunya. Dari penjelasan anak tersebut, dia diiming-imingi dengan sekolah gratis oleh HW.  Setelah pengakuan dari korban, terkuak bahwa bukan hanya 1 anak yang telah mengalami pelecehan seksual tersebut. HW telah melakukannya kepada beberapa santinya, hingga ada yang melahirkan. Kasus ini, terus diselediki untuk mengetahui korban selanjutnya.
      Jika mengacu terhadap UU Perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 :
alam hal menjamin seorang anak agar kehidupannya bisa berjalan dengan normal, maka negara telah memberikan payung hukum yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun seiring berjalannya waktu, pada kenyataannya undang-undang tersebut dirasa belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi anak, di sisi lain maraknya kejahatan terhadap anak di tengah-tengah masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual yang saat ini banyak dilakukan oleh orang-orang dekat sang anak, serta belum terakomodirnya perlindungan hukum terhadap anak penyandang disabilitas. Sehingga, berdasarkan paradigma tersebut maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah berlaku (kurang lebih) 12 (dua belas) tahun akhirnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak (korban kejahatan) dikemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Karena berdasarkan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan terhadap anak (terutama pelaku kejahatan seksual) diperiksa di persidangan, ternyata sang pelaku dulunya juga pernah mengalami (pelecehan seksual) sewaktu sang pelaku masih berusia anak, sehingga sang pelaku terobsesi untuk melakukan hal yang sama sebagaimana yang pernah dialami.
      Mengenai tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 diatur dalam beberapa pasal yang diantaranya mewajibkan dan memberikan tanggung jawab untuk menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental, serta melindungi, dan menghormati hak anak dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian dalam undang-undang ini pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak di daerah yang dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak anak, serta memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
      Maka, hal ini menjadi sorot pemerintah dalam meneggakkan peraturan Undang-Undang bagi perlindungan anak, serta lebih ketat dalam pengawasan pendirian sarana Pendidikan. Karena, pada dasarnya pendirian sekolah, pesantren dan sebagainya, tetap harus menguikuti peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pemerintah. Selain itu, edukasi seks untuk pembelajaran bagi anak juga harus dilakukan agar tidak terulang Kembali hal seperti ini, khususnya anak yang masih dibawah umur yang seharusnya memiliki banyak kesempatan untuk meraih cita-citanya. Pengadilan telah menetapkan sanksi terhadap pelaku sesuai dengan peraturan akan kekerasan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H