Pendidikan secara umum dimaknai sebagai suatu proses untuk menemukan transformasi atau perubahan baik untuk individual maupun komunal. Dengan demikian, proses pendidikan pada hakikatnya adalah membebaskan diri seseorang dari segala jenis kukungan, intimidasi, dan eksploitasi. Di sinilah letak afinitas pendidikan, yaitu membebaskan manusia secara komprehensif dari berbagai ikatan eksternal yang mengikat kebebasannya (Saesfao, 2020).
Jika berbicara tentang pendidikan skala nasional, tentu akan merujuk dengan apa yang tercantum dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 yang isinya "Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Berdasarkan wacana tersebut, pada artikel ini akan membahas tentang Kurikulum Merdeka Belajar dalam Perspektif Pendidikan Paulo Freire.
Kurikulum di Indonesia telah mengalami banyak perubahan sejak pasca proklamasi hingga saat ini. Adapun kurikulum di Indonesia adalah sebagai berikut: Kurikulum Rentjana Pelajaran 1947, Kurikulum Rentjana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013 (K-13), dan yang saat ini diterapkan adalah Kurikulum Merdeka Belajar.
Kurikulum Merdeka mulai diuji coba pada tahun 2020 dan mulai diterapkan pada tahun 2022. Kurikulum Merdeka pertama kali dicetuskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Nadiem Makarim pada tahun 2019. Hal ini dilatarbelakangi dari hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilaksanakan pada tahun 2019 dengan hasil penilaian peserta didik yang ada di Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah, sehingga dengan hasil penelitian ini mendikbud mencetuskan konsep kurikulum yang baru, yaitu Kurikulum Merdeka.
Kurikulum Merdeka memiliki konsep kemandirian dan kemerdekaan bagi pendidikan yang ada di Indonesia untuk menentukan sendiri cara atau metode terbaik yang dapat digunakan selama proses belajar mengajar.
Kemendikbud memberikan penjelasan yang berisikan empat pokok kebijakan Merdeka Belajar, di antaranya: Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) pelaksanaannya digantikan dengan penilaian (asesmen) yang kebijakan pelaksanaannya diserahkan kepada pihak sekolah; Ujian Nasional (UN) ditiadakan. Peran UN kemudian digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.Â
Penilaiannya meliputi aspek literasi, numerasi, dan survei karakter; Penyederhanaan format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dalam hal ini guru diharapkan dapat secara lebih bebas memilih, membuat, serta menggunakan dan mengembangkan format RPP ini; dan Sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) lebih fleksibel. Dalam kebijakan ini, Kemendikbud memberikan fleksibilitas kepada daerah untuk mengakomodir ketimpangan akses dan kualitas pendidikan di berbagai daerah.
Jika disandingkan dengan pemikiran pendidikan yang dikemukakan oleh Paulo Freire maka akan cocok karena sama sama memiliki konsep Pendidikan Pembebasan. Kurikulum Merdeka dapat membentuk peserta didik agar mampu mengatasi berbagai kondisi sosial yang terjadi dan mengubahnya menjadi lebih baik. Selanjutnya akan membahas tentang konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Paulo Freire.
Paulo Freire dilahirkan di Refice, Brazil (bagian timur) pada 19 september 1921 dan wafat pada 2 Mei 1977 de So Paulo, Brazil. Freire adalah seorang tokoh pendidikan dan teoritikus pendidikan Brazil yang berpengaruh di dunia. Freire mengeluarkan beberapa gagasannya mengenai konsep pendidikan, salah satunya adalah Konsep Pendidikan Pembebasan, dimana konsep ini dikeluarkan sebagai solusi dari kritikan yang disampaikan untuk sistem pendidikan yang ada saat itu, yaitu "Pendidikan Gaya Bank".
Menurut Freire, dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan adalah merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Tidaklah mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur.
Konsep gaya bank melahirkan adanya kontradiksi dalam hubungan guru atau pendidik dengan peserta. Dalam pendidikan gaya bank, guru dianggap menjadi sosok yang sentral. Pada implementasinya hal yang dikatakan dan dilakukan oleh guru harus selalu diikuti oleh peserta didik.