Sastra anak juga bisa mengajarkan nilai-nilai kesetaraan gender. Misalnya, tokoh perempuan dalam cerita anak tidak harus selalu digambarkan sebagai sosok yang pasif atau hanya berperan sebagai pendukung. Sebaliknya, mereka dapat menjadi pemimpin, penjelajah, atau pahlawan yang menghadapi tantangan dengan keberanian.
 Dengan cara ini, cerita anak membantu membangun persepsi yang lebih adil tentang peran gender di masyarakat. Anak-anak perempuan yang membaca cerita tentang tokoh perempuan yang berani akan termotivasi untuk percaya pada kemampuan mereka sendiri.Â
Sebaliknya, anak laki-laki yang membaca cerita tentang tokoh perempuan yang kuat akan belajar untuk menghormati dan mendukung peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Sastra anak seperti ini tidak hanya mendidik tetapi juga menciptakan generasi yang lebih terbuka terhadap kesetaraan.
Selain itu, sastra anak juga dapat memainkan peran penting dalam pendidikan karakter. Buku-buku cerita seperti "Bencana di Pulau Seberang" karya Wiwin Alwiningsih, misalnya, menghadirkan nilai-nilai Pancasila seperti gotong royong, kemandirian, dan toleransi dalam alur ceritanya.Â
Anak-anak dapat belajar dari tindakan tokoh-tokohnya, yang menunjukkan pentingnya bekerja sama, menghargai perbedaan, dan memiliki semangat untuk menghadapi tantangan.
 Dengan cara ini, cerita tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alat pembelajaran yang efektif. Cerita ini membantu anak-anak memahami bahwa keberhasilan sering kali dicapai melalui kerja sama dan usaha bersama. Melalui kisah-kisah ini, anak-anak juga belajar untuk memahami bahwa kegagalan adalah bagian dari proses pembelajaran, bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Namun, menciptakan sastra anak yang inklusif bukan tanpa tantangan. Banyak penulis mungkin merasa kesulitan untuk menciptakan tokoh yang merepresentasikan keberagaman dengan cara yang autentik dan tidak stereotip.Â
Selain itu, kurangnya akses terhadap pelatihan dan sumber daya juga menjadi kendala bagi banyak guru dan pendidik. Penelitian Siti Nurhana (2024) tentang pendidikan inklusi di Indonesia menunjukkan bahwa banyak guru merasa kurang siap dalam menangani kebutuhan khusus siswa, baik karena kurangnya pelatihan maupun keterbatasan sarana.Â
Hal ini juga relevan dalam konteks sastra anak, di mana masih diperlukan upaya untuk memastikan bahwa cerita-cerita yang inklusif dapat diakses oleh semua anak. Salah satu solusi untuk masalah ini adalah menyediakan pelatihan bagi penulis dan pendidik agar mereka lebih memahami bagaimana merepresentasikan keberagaman secara efektif.
Untuk menciptakan sastra anak yang benar-benar inklusif, kerja sama adalah kunci. Penulis, ilustrator, penerbit, dan pendidik perlu bekerja sama untuk menciptakan buku-buku yang tidak hanya menarik tetapi juga merepresentasikan keberagaman dengan cara yang positif dan mendidik. Guru dan orang tua juga memainkan peran penting dalam memilih dan merekomendasikan buku-buku yang sesuai untuk anak-anak.Â
Selain itu, ilustrasi dalam buku cerita harus mencerminkan keragaman dengan cara yang autentik, seperti menunjukkan tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang budaya, fisik, dan kemampuan. Gambar yang menampilkan anak-anak dari berbagai latar belakang bisa membantu pembaca muda merasa lebih terhubung dengan cerita yang mereka baca. Peran komunitas literasi juga penting dalam mempromosikan buku-buku inklusif kepada masyarakat yang lebih luas.