Mohon tunggu...
Nafis Adila Ayu
Nafis Adila Ayu Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Airlangga

Hello! I'm Adila and I'm a freshman at Faculty of Economic and Business, majoring in Accounting. I love crafting and selling. I always try what I have never tried before, with aim of increasing skills and experience. Having a dream to become a successful entrepreneur requires a big effort. That's why I'll try my best in every chance. My life motto is dream big, work hard, and make it.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Benarkah Pembelajaran Online Mengancam Kesehatan Mental Siswa?

1 Juni 2022   10:36 Diperbarui: 1 Juni 2022   11:12 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akibat pandemi COVID-19, sekolah dan perguruan tinggi di seluruh Indonesia dan seluruh dunia beralih menjadi pembelajaran online. Kesehatan dan keselamatan semua orang adalah prioritas utama selama pandemi, dan sekolah online adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Awalnya sistem pembelajaran online dianggap menguntungkan bagi orang tua karena tidak perlu lagi mengemudi ke sekolah, tidak lagi mempersiapkan bekal makanan, dan beberapa siswa berpakaian santai saat kelas online berlangsung. Namun dalam jangka panjang siswa, orang tua, bahkan profesor, dan guru telah menyadari tantangan kelas online, terutama pada kesehatan mental seseorang.


Kelas online dapat mempengaruhi kesehatan mental siswa, orang tua, dan bahkan guru. Bagi siswa yang memiliki masalah kesehatan mental, kondisi ini akan memburuk. Seorang anak menghabiskan berjam-jam setiap hari di depan Zoom untuk belajar tanpa interaksi sosial dan waktu bermain dengan teman-temannya. Orang tua juga bertindak seperti guru dan lebih terlibat dalam pekerjaan sekolah anak-anak mereka. Guru dan profesor telah meningkatkan beban kerja dan ditekan untuk memberikan pembelajaran berkualitas tanpa kelas tatap muka. Kelelahan belajar secara virtual adalah nyata dan dapat menyebabkan kecemasan dan stres baik bagi siswa, guru, maupun dosen.


Siswa dari daerah sosioekonomi rendah memiliki tekanan mental yang lebih tinggi karena keterbatasan kemampuan keuangan mereka untuk mendapatkan gadget yang diperlukan dan konektivitas internet. Kesenjangan digital yang berasal dari ketidaksetaraan sosial ekonomi dapat mengakibatkan kesenjangan kesehatan mental di antara siswa selama pandemi. Bahkan siswa di Tiongkok dari daerah yang kekurangan sumber daya berisiko mengalami gangguan mental selama pandemi COVID-19 karena faktor sosial dan budaya. Pengamatan serupa dicatat di Filipina, anak-anak memiliki risiko lebih tinggi untuk kesehatan mental yang buruk dibandingkan dengan orang dewasa di Filipina.


Pengetahuan dan pengalaman seorang siswa dapat diperoleh bukan hanya dari buku, namun juga interaksi sosial seperti persahabatan yang dapat menciptakan kenangan. Keterampilan komunikasi dan sosial lebih baik dipelajari dengan interaksi sosial. Anak-anak, remaja, bahkan guru perlu terhubung dengan teman-temannya untuk bisa bersosialisasi. Adanya pandemi COVID-19 menyebabkan interaksi antara siswa dan guru menjadi terisolasi. Hal ini sangat berdampak pada kesehatan mental siswa. Kurangnya interaksi sosial dalam pembelajaran online menyebabkan perasaan kesepian, kurangnya motivasi, dan isolasi.


Akhir-akhir ini angka penularan COVID-19 turun dan berimbas pada turunnya angka kematian akibat COVID-19 yang memaksa pemerintah untuk mengambil keputusan melaksanakan kembali beberapa kegiatan agar berjalan sebagaimana semestinya salah satunya yakni pembelajaran tatap muka. Selama kurang lebih dua tahun siswa mengikuti pembelajaran daring yang cukup menguras pikiran, waktu, dan biaya. Kini siswa siswa dihadapkan kembali untuk melakukan pembelajaran secara tatap muka. Sebagian siswa cukup antusias, namun sebagian siswa menghadapi kecemasan terutama bagi siswa yang baru menginjak bangku perkuliahan. Kecemasan tersebut atas dasar karena mereka harus beradaptasi kembali dengan lingkungan sekitar serta kekhawatiran akan pembelajaran di perkuliahan yang tentu berbeda dengan pembelajaran saat di Sekolah Menengah Atas (SMA). Kecemasan lain yakni mahasiswa khawatir mengenai sistem penilaian di bangku perkuliahan. Setiap manusia memiliki kondisi mental yang berbeda-beda, beberapa orang memiliki kondisi mental dengan tingkat kecemasan tinggi yang berakibat pada depresi beberapa orang memilih untuk menjalani kehidupan dengan santai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun