Mohon tunggu...
Nafisa AudriliaParsa
Nafisa AudriliaParsa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

I'm a first-year accounting student who has a passion to involve in business and technology industry and also eager to learn a valuable activities throughout my life. Being helpful and have a big impact for others have always been my things. Influencing and take a part as a leader have just been my job since I was elected as a President of student council so that I believe I have this basic leadership that can help people to organize their jobs and thoughts properly.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Post-truth sebagai Pemicu Skeptisisme Masyarakat Indonesia

13 Mei 2023   00:57 Diperbarui: 31 Mei 2023   23:57 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini, teknologi semakin canggih dan keterbukaan informasi menjadi wadah bagi masyarakat dapat beropini secara bebas. Dengan masifnya penggunaan internet dan teknologi, tentu menjadi era di mana masyarakat menjadi mudah terpengaruh dan mengedepankan opini publik yang belum tentu dapat menguatkan fakta. Fenomena yang mengabaikan fakta dan cenderung menyepakati informasi atau hal-hal yang lebih berpihak pada keyakinan dirinya adalah definisi dari fenomena post-truth. Ketika post-truth muncul menjadi kebiasaan suatu masyarakat, maka akibat yang dapat ditimbulkan adalah beredarnya berita hoaks dengan mudah karena post-truth lah yang menjadikan suatu informasi yang sebenarnya salah, tetapi karena didorong oleh pendapat publik dengan sangat kuat akan dapat menimbulkan berita-berita hoaks.

Pada tahun 1992, Steve Tesich memperkenalkan frasa post-truth dalam artikelnya yang berjudul "The Government of Lies". Dalam artikel tersebut, post-truth digunakan untuk menggambarkan keprihatinan Tesich terkait propaganda  negara-negara yang terlibat dalam  Perang Teluk. Tidak hanya sampai disitu, istilah post-truth mulai digunakan kembali dengan kata yang berbeda, yaitu truthiness yang berarti seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. Dengan demikian, post-truth dapat didefinisikan sebagai situasi di mana opini, perasaan, dan emosi lebih memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap informasi atau berita yang beredar.

Keterlibatan emosi dan perasaan dalam bertindak dan berpikir kritis memang diperlukan sebagai pembanding atau memilah informasi mana yang sebenarnya dapat diterima secara humanis, tetapi jika dua hal tersebut sudah mendominasi, maka rasionalitas tidak lagi menjadi hal yang krusial. Kejadian seperti itu sudah sering terjadi di Indonesia,  terutama pada era keterbukaan informasi saat ini yang memungkinkan munculnya berita hoaks dengan mudah dan masif. Akibatnya, masyarakat Indonesia menjadi skeptis dan memiliki rasa "trust issues" ketika mendapatkan suatu informasi yang diberikan di media massa.

Skeptisisme

Skeptisisme bukan merupakan hal baru yang terjadi di Indonesia, melainkan sudah sejak dulu. Media-media massa seringkali dijadikan bagian dari propaganda politik yang memperlihatkan buruknya pemerintahan. Sejak dulu, media massa berkontribusi dalam memberikan panggung bagi pejabat politik untuk memberitakan kebijakan terbaru, tetapi tidak selamanya media massa berfungsi sesuai dengan kaidahnya. Munculnya berita-berita yang kurang terfilter dan simpang siur menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam memilah informasi yang akurat dan objektif, apabila kedua hal itu tidak dipertimbangkan, maka fenomena post-truth tidak akan terkendali.

Post-truth dan skeptisime memiliki korelasi yang kuat karena akibat dari fenomena post-truth sendiri adalah skeptisime. Jika masyarakat sering menerima informasi yang tidak akurat atau salah, mereka tidak akan lagi mempercayai informasi yang berdasarkan fakta. Mereka  lebih mudah terombang-ambing oleh berita palsu atau informasi tidak akurat yang sesuai dengan pandangan mereka, dan tidak berusaha memverifikasi atau mengkonfirmasi informasi yang mereka terima. Selain itu, semakin banyaknya berita hoaks beredar makan semakin lama berita itu akan menjadi kebenaran apabila didorong dengan keyakinan dan pendapat yang menguatkan berita tersebut dan ketika memang terdapat informasi yang akurat, masyarakat menjadi semakin ragu dan sulit untuk mempercayainya. Maka dari itu, dengan adanya kebohongan yang beredar dan didorong dengan adanya fenomena post-truth, skeptisime masyarakat Indonesia akan semakin besar sehingga akan membuat masyarakat sulit untuk memilah dan menerima berita yang ada.

Oleh karena itu, upaya harus dilakukan  untuk mengatasi  post-truth dan skeptisisme di masyarakat, salah satu caranya adalah dengan meningkatkan literasi informasi masyarakat agar dapat membedakan antara fakta dan opini serta  melakukan verifikasi informasi sebelum disebarluaskan. Selain itu, media berita utama dan sumber informasi alternatif juga harus lebih memperhatikan kualitas dan keakuratan informasi yang mereka sebarkan, sehingga masyarakat dapat  lebih mempercayai informasi yang mereka terima.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun