Sumber Daya Manusia dalam Al-qur'an dan Hadis
Allah menciptakan manusia dengan maksud agar memakmurkan bumi, dalam arti mereka memanfaatkan sumber daya alam di bumi dan menjadi tenaga-tenaga yang bertugas mengelola dan memproduksi hasil-hasil bumi sehingga tercapai kesejahteraan hidup. Allah berfirman dalam surah Hud (11) ayat 61:
"Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu memakmurkannya."
Dalam ayat di atas, kata kunci dari faktor produksi sumber daya manusia terdapat dalam kata wasta'marakum yang berarti kamu memakmurkannya. Di sini, manusia sebagai khalifah di muka bumi diharapkan oleh Allah untuk menjadi pemakmur bumi dalam pemanfaatan tanah dan alam.
Dalam proses produksi, sumber daya manusia disebut dengan tenaga kerja. Secara umum, tenaga kerja dibagi menjadi dua kategori:
Tenaga kerja kasar/buruh kasar, misalnya pekerja bangunan, pandai besi, dan sebagainya. Allah memuliakan hamba-hamba-Nya walaupun mereka bekerja sebagai pekerja kasar. Banyak ayat dan hadis yang menjelaskan tentang kegiatan para Nabi terkait dengan penghargaan terhadap para pekerja kasar seperti yang dilakukan Nabi Hud dengan pembuatan kapal dan Nabi Dawud yang bekerja dengan keterampilan tangannya.
Tanaga terdidik. Dalam Al-Qur'an diceritakan tentang tenaga ahli dalam cerita Nabi Yusuf yang diakui pengetahuannya oleh Raja Mesir (Kiffir Al-Aziz) sehingga dipercayai untuk mengurus dan menjaga gudang logistik. Hal ini menunjukkan bahwa faktor keahlian dan penguasaan ilmu pengetahuan sangat penting dalam bekerja.
Karena itu, sumber daya manusia harus berkualitas dan kompeten. Ada beberapa syarat-syarat agar sumber daya manusia berkualitas dan kompeten yaitu:
Berpengalaman
Bisa melakukan pengambilan keputusan
Bisa belajar dengan cepat
Bisa menyesuaikan diri
Bisa bekerja dalam tim
Bisa berpikir dewasa
Mempunyai keterampilan tekhnis yang diperlukan sesuai dengan bidangnya
Bisa melakukan negosiasi
Bisa berpikir strategis
Bisa mendelegasikan tugas
Mempunyai sensitivitas kebudayaan (bisa bekerja sama dengan orang lain yang berbeda budaya)
Sumber daya manusia merupakan faktor produksi yang paling penting dari beberapa faktor produksi yang lain karena manusialah yang memiliki inisiatif atau ide, Â mengorganisasi, memproses, dan memimpin semua faktor produksi non-manusia. Menurut Yusuf Al-Qardhawi, kerja manusia adalah faktor produksi yang terpenting. Yang dimaksud dengan kerja di sini adalah segala kemampuan dan kesungguhan yang dikerahkan manusia, baik jasmani maupun pikiran, untuk mengolah kekayaan alam, baik untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok. Dengan kata lain yang dimaksud dengan istilah tenaga kerja manusia bukanlah semata-mata kekuatan manusia untuk mencangkul, menggergaji, bertukang, dan segala kegiatan fisik lainnya. Akan tetapi yang dimaksud tenaga kerja tersebut bermakna lebih luas yakni sumber daya manusia (human resources). (Idri,2015: 87-89)
Islam mengakui adanya perbedaan kompensasi di antara pekerja, atas dasar kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan, sebagaimana yang dikemukakan dalm Al-Qur'an surat Al-Ahqaf (46): 19, yaitu:
"Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka, sedang mereka tiada merugi."
Disisi lainnya, Al-Qur'an tidak membedakan perempuan dengan laki-laki dalam tataran posisi yang sama untuk masalah kerja. Dan juga untuk kompensasi yang akan mereka terima, sebagaimana yang terungkap dalam Al-Qur'an, surat Ali Imran(3): 195, yaitu:
"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain."
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Siapa yang mendapatkan sesuatu (pekerjaan untuk mencari rezeki), maka hendaklah ia menekuninya."
Seseorang harus benar-benar menekuni pekerjaannya. Karena suatu kesuksesan berawal dari ketekunan dalam berusaha. Dalam sejarah kesuksesan para pelaku usaha di dunia, modal sesungguhnya yang mereka miliki adalah ketekunan dan keuletan mereka. Sehingga dalam bekerja, walaupun mendapati ada kesulitan menghadang, mereka menganggap hal itu hanyalah suatu tantangan agar mereka bisa maju di kemudian hari.
Bagi seorang muslim, bekerja merupakan suatu upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang menundukkan dunia, serta menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat. Dengan kata lain, pada dasarnya dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya karena bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuan tersebut ia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah.(Fauzia,2014: 277)
Allah memerintahkan agar umat Islam bekerja dan pekerjaan itu sesungguhnya diperhatikan oleh Allah, Rasul, dan umat Islam. Pekerjaan yang baik dan mendatangkan dampak positif akan diapresiasi dengan penghargaan di dunia ataupun di akhirat. Demikian pula sebaliknya, pekerjaan yang buruk dan mendatangkan dampak negatif akan mendapatkan ancaman di dunia ataupun di akhirat. Allah mengetahui bagaimana seseorang bekerja dengan jujur atau tidak dalam pekerjaannya itu. Allah berfirman:
"Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. 9/At-Taubah: 105)
Allah memerintah agar manusia bekerja dan berbuat sesuatu, tidak berpangku tangan dan bermalas-malasan. Nabi pun demikian, ia bekerja dan berbuat. Tidak ada yang sia-sia dari segala yang dikerjakan atau dilakukan karena semua akan diketahui hasilnya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Karena itu, dalam bekerja seseorang tidak diperkenankan berbuat dzalim kepada orang lain. Kalau ia melakukan itu, maka ia tidak akan mendapatkan keberuntungan. Allah berfirman:
"Katakanlah, wahai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapakah (diantara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan." (QS. 6/Al-An'am: 135.(Idri,2015: 280-281)
Motivasi dan Tujuan Kerja dalam Islam
Sebagai agama yang menjadi rahmat bagi alam semesta, Islam menganjurkan umatnya agar hidup bahagia di dunia dan akhirat kelak. Agar manusia bahagia, mereka harus berusaha untuk mencapainya. Salah satu caranya adalah dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya baik yang bersifat primer maupun sekunder bahkan yang bersifat tersier. Untuk memnuhi kebutuhan itu, manusia dapat melakukannya antara lain dengan bekerja. Bekerja merupakan faktor yang paling dominan dilakukan manusia dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya itu. Karena itu, manusia harus bekerja keras dan bersungguh-sungguh juga bersikap professional dalam pekerjaannya sehingga menghasilkan sesuatu secara optimal.
Hanya saja, tidak semua orang dapat bekerja dengan rajin dan sungguh-sungguh. Tidak sedikit di antara mereka yang malas dan asal-asalan dalam mengerjakan sesuatu. Mereka inilah adalah orang-orang yang tidak termotivasi untuk bekerja dan tidak tahu untuk apa mereka bekerja. Karena itu, mereka seharusnya mengetahui apa motivasi dan tujuan kerja menurut Islam.
Motivasi kerja Islam bisa diartikan sebagai dorongan dari seseorang untuk melakukan kebaikan dalam memenuhi kebutuhan pribadi maupun manusia pada umumnya baik kebutuhan fisik, psikologis maupun sosial. Dalam kehidupannya, manusia tidak dapat lepas dari usaha sebagai salah satu perwujudan aktivitasnya, baik yang menyangkut aktivitas fisik maupun mental. Manusia sepanjang hidupnya senantiasa bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan tanpa bekerja mereka akan mengalami berbagai kesulitan.(Idri,2015: 311-312)
Hadis Tentang Upah Seorang Tenaga Kerja
Yang artinya: "berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum kering keringatnya." (HR.Ibnu Majah, shahih). Maksud hadis ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.
Al Munawi berkata, "diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampumenunaikan tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering (Faidhul Qodir, 1:718).(Muhammad,2014: 18)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H