Mohon tunggu...
Nafilah Fauzunnida
Nafilah Fauzunnida Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Math Education'19

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Mentari yang Hilang

23 April 2020   00:36 Diperbarui: 23 April 2020   00:29 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malampun tiba, aku berdoa kepada tuhan. “Ya Allah, tolonglah diriku yang lemah ini. Pertemukanlah aku dengan kakakku. Kenapa aku harus mengalami hal ini ya Allah?” Doa ku bercampur bersama doa ribuan umat manusia di bumi. Hampir tiap malam kudendangkan lagu yang berjudul ibu yang dinyanyikan oleh musisi bernama Rafly. 

Aku tak bisa tidur dan mataku masih tetap terbuka membayangkan bagaimana rusaknya kota Yogyakarta ini. Sang juru kunci Gunung Merapi yang bernama mbah Maridjan dikabarkan meninggal dunia pada tanggal 26 Oktober 2010 di Sleman, Yogyakarta.

Lebih kurang dua bulan aku tinggal di posko keamanan. Bahan-bahan makanan di posko semakin menipis dan kadang kita hanya makan sekali dalam sehari. Aku lelah selalu berada dalam tenda yang pengap ini dan memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri padang debu. Semua  rusak dan hancur hanya tinggal puing-puing bangunan yang tersisa. Aku menyusuri pertigaan jalan berdekatan dengan lereng-lereng tempat ibu jatuh. 

Di jalan, aku melihat seseorang berpakaian compang-camping tidak karuan dan berjalan dengan kaki pincang, orang itu berteriak ke arahku “Lisa, Lisa... ini kakak jangan tinggalkan kakak lagi nduk.” Ia mencoba berlari ke arahku. Aku merasa ketakutan namun, kuberanikan untuk menatapnya dan memastikan dengan benar siapa makhluk yang berjalan itu. Dari kejauhan ia nampak bagaikan mayat hidup yang selamat dari letusan Gunung Merapi. Dia mendekat ke arahku samar-samar aku mengetahui siapa orang itu. “Kak Hafiz, kakak... benarkah itu kakak?” Aku berlari mendekat ke arahnya memeluk tubuh lusuhnya itu. Aku sangat merindukan sesosok cahayaku yang hilang.

Matahari mulai bersembunyi di balik gelapnya langit. Aku dan kak Hafiz berjalan beriringan menyusuri debu dan puing-puing bangunan ditemani dinginnya malam yang mencekam. Kak Hafiz masih sama seperti sebelumnya selalu mengembangkan senyumnya walau ujian datang silih berganti menyapanya. Ia seakan-akan telah bersahabat bersama luka-luka yang diterimanya dari kecil hingga sekarang, dan aku juga masih sama seperti dulu. Aku masih takut hal-hal selalu datang terbayang di ingatanku dan aku selalu takut dengan datangnya malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun