Sejarah isu nuklir di Korea Utara bermula ketika Korea Utara mengumumkan akan menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) pada tahun 1993. Sejak saat itu, isu nuklir Korea Utara menunjukkan kemajuan dan kemunduran. Perjanjian yang disepakati oleh Korea Utara dengan Amerika Serikat pada tahun 1994 mengakibatkan pembekuan fasilitas nuklir plutonium Korea Utara selama beberapa tahun. Namun, timbul kecurigaan dari dunia internasional bahwa Korea Utara telah mengembangkan nuklirnya. Hal ini pun dibenarkan karena Korea Utara berhasil terus menerus mengembangkan nuklirnya sehingga runtuhnya perjanjian yang sebelumnya telah disepakati. Sejak tahun 2002, Korea Utara terus melanjutkan operasi fasilitas nuklir plutoniumnya.
Pada tahun 2003, ada enam pihak yang terjun langsung untuk menyelesaikan masalah nuklir di Korea Utara. Perundingan ini melibatkan Korea Selatan, Korea Utara, Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Rusia. Perundingan ini menghasilkan beberapa kemajuan, seperti pernyataan bersama di tahun 2005 dan berbagai langkah pelaksanaan di tahun 2007. Tetapi, di tahun 2008 perundingan ini tidak berlanjut dikarenakan pihak tidak bisa sepakat soal protokol verifikasi fasilitas dan material nuklir Korea Utara. Bahkan, Korea Utara ketika masa perundingan tetap mengembangkan  nuklirnya, termasuk uji coba nuklir pertama pada tahun 2006 dan kedua pada 2009.
Pada Januari 2021, Korea Utara tetap mendeklarasikan tujuannya untuk "mengembangkan kekuatan nuklir dan memperkuat kemampuan pertahanan" Â dalam Kongres Ke-8 Partai Pekerja Korea. Hal ini menunjukkan Korea Utara akan tetap melanjutkan provokasi rudalnya yang meliputi Kendaraan luncur hipersonik dan rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam (SLBM). Bahkan di tahun 2022, Korea Utara berhasil meluncurkan lebih dari 100 rudal balistik yang menyebabkan peningkatan provokasi pada saat ini yang belum terjadi sebelumnya.
Menurut Direktur Jenderal International Atomic Energy Agency (IAEA), dalam pernyataan pembukannya pada tanggal 22 November 2023, melaporkan  peningkatan aktivitas nuklir yang mengkhawatirkan di sekitar Light Water Reactor (LWR) di Yongbyon, Korea Utara. Sejak pertengahan Oktober, IAEA mengamati aliran air yang kuat keluar dari sistem pendingin reaktor tersebut. Aktivitas ini dianggap konsisten dengan proses komisioning LWR, yang menunjukkan sebuah langkah awal dalam pengoperasian reaktor baru (IAEA, 2023).
Dengan semakin berkembangnya program nuklir Korea Utara, perhatian global kini semakin tertuju pada bagaimana negara-negara di kawasan Asia Timur merespons situasi ini. Jepang dan Korea Selatan, sebagai negara tetangga yang berada dalam jangkauan rudal Korea Utara, telah meningkatkan langkah-langkah keamanan mereka, termasuk memperkuat aliansi pertahanan dengan Amerika Serikat dan memperkuat kemampuan pertahanan nasional (voaindonesia, 2023)
Respons Jepang Terhadap Nuklir Korea Utara
Pemerintah Jepang telah menunjukkan sikap yang hati-hati dalam merespons uji coba nuklir Korea Utara. Pertama, meskipun telah menerapkan sanksi terhadap Korea Utara, Jepang tampaknya lebih memprioritaskan isu penculikan warganya oleh Pyongyang. Setelah dilantik pada tahun 2006, Perdana Menteri Shinzo Abe segera membentuk kantor khusus dalam kabinetnya untuk menangani masalah penculikan tersebut, tetapi tidak ada kantor serupa yang dibentuk untuk menangani program nuklir atau rudal Korea Utara, meskipun Abe secara konsisten menyatakan bahwa ancaman nuklir dari Pyongyang adalah ancaman terbesar bagi Jepang. Hal ini juga tidak mendorong munculnya seruan dari media Jepang untuk mendirikan kantor semacam itu.
Kedua, Jepang tetap enggan untuk bernegosiasi langsung dengan Korea Utara terkait pengembangan dan penyebaran rudal balistik, meskipun Jepang merupakan salah satu negara yang paling terdampak oleh program rudal balistik jarak menengah Korea Utara.
Ketiga, meskipun Korea Utara telah melakukan uji coba nuklir dan peluncuran rudal, Jepang belum secara serius mempertimbangkan untuk meningkatkan anggaran pertahanan atau menghadapi tekanan domestik yang kuat untuk melakukannya. Prioritas utama Jepang masih terfokus pada pengurangan defisit pemerintah, yang mencapai hampir 150 persen dari PDB, sementara anggaran pertahanan tetap di bawah 1 persen dari PDB. Setiap cabang Pasukan Bela Diri Jepang bahkan terpaksa mengurangi jumlah personel dan pengadaan.
Keempat, meskipun setelah uji coba nuklir Korea Utara, para pejabat Jepang sempat mendiskusikan perlunya undang-undang baru untuk memungkinkan intersepsi dan inspeksi kapal Korea Utara yang dicurigai membawa kargo terkait senjata pemusnah massal (WMD) di laut lepas, diskusi ini akhirnya meredup. Begitu juga dengan pertimbangan untuk membeli dan mengerahkan sistem persenjataan ofensif guna menghancurkan situs peluncuran rudal Korea Utara, yang pada akhirnya juga tidak berlanjut.
Respons Korea Selatan Terhadap Nuklir Korea Utara
Korea Selatan telah menunjukkan sikap terhadap pengembangan nuklir yang dilakukan Korea Utara dengan membuat kesepakatan peningkatan kerjasama antara Amerika Serikat dan Korea Selatan. Pada April 2023, Amerika Serikat dan Korea Selatan merencanakan pengembangan senjata nuklir sendiri agar dapat menyeimbangkan kekuatan. Hal ini juga disusul dengan pernyataan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, yang menyarankan Seoul untuk mengembangkan senjata nuklirnya sendiri. Setelah pengumuman tersebut, Presiden Biden juga mempertegas akan mengakhiri rezim Korea Utara jika mereka menggunakan nuklir.
Gabungan latihan militer Amerika Serikat  dan Korea Selatan pada tahun 2023 telah menjadi tahun pelatihan terbesar dikarenakan berhasil melibatkan pesawat berkemampuan nuklir dalam beberapa tahun terakhir. Akibatnya,  ketegangan meningkat karena Korea Utara terus menuduh kedua negara tersebut memprovokasi situasi yang bisa berujung pada perang nuklir.