Korupsi merupakan sebuah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Orang yang melakukan korupsi disebut dengan koruptor. Bentuk korupsi dapat bermacam-macam, seperti  penyalahgunaan dana perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya. Korupsi termasuk dalam kegiatan yang tidak pantas dan melawan hukum. Korupsi dapat dilakukan oleh pegawai sektor publik maupun swasta untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain. Definisi daripada korupsi dapat dikatakan sebagai bentuk penjanjian dan permintaan. Karena korupsi dapat berada di mana pun, persoalan tindak kriminal ini dapat dimasukan pada fenomena politik, ekonomi, dan sosial yang cukup kompleks.
Penyelidikan pelaku tindak korupsi atau koruptor dilakukan oleh badan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Badan KPK bertugas untuk menyelidiki, menyidik, dan menentukan tuntutan tindak pidana korupsi. Â Tercatat mulai dari tahun 2002 berdiri dan hingga saat ini memiliki lima anggota pada jajaran pimpinannya.
Pada peraturan perundang-undangan Negara Indonesia, tepatnya antara lain UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sangat berketerbalikan dengan kondisi langsung pemerintahan Indonesia. Terhitung dari data KPK, mulai tahun 2004 hingga 2022, sebanyak 1.310 kasus tindak korupsi telah terjadi di Indonesia. Khususnya pada sektor politik, banyak pejabat yang melakukan korupsi bahkan hingga menyebabkan kerugian besar pada negara.
Dalam kebanyakan kasus hukuman tindak korupsi di Republik Indonesia, tak sedikit menuai kontrovesi masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa nominal kerugian dan masa hukuman yang diterima oleh koruptor kebanyakan tidak sesuai, mulai dari masa hukuman, cara memberlakukan tahanan koruptor, dan denda yang diberikan. Standar hukuman yang diberikan cenderung semakin lebih rendah jika pelaku merupakan seseorang dengan title atau jabatan yang lebih tinggi. Padahal, semakin tinggi jabatan seorang koruptor, kemungkinan nominal dana yang dikorupsi dapat lebih banyak.
Seperti halnya kasus-kasus korupsi yang belum lama ini membuat masyarakat cukup heran karena nominal kerugiannya, salah satunya adalah tindak korupsi PT Asabri yang mencapai lebih dari 20 triliun. Bukan hanya dari sektor perusahaan, melainkan pula korupsi masal yang dilakukan oleh 41 dari 45 anggota DPRD di Malang pada 2018, tindak korupsi oleh mantan Kepala Cabang Bank Syariah Mandiri mencapai 6,5 miliar, serta kasus penerimaan suap sebesar 1,5 miliar oleh mantan Wali Kota Blitar pada tahun 2019.
Meninjau beberapa kasus tersebut, dapat menimbulkan opini bahwa korupsi di Indonesia memang masih belum teratasi dengan baik. Meskipun upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dilakukan oleh berbagai lembaga, nyatannya beberapa oknum maupun organisasi masih bisa melakukan tindak kriminal tersebut. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), kejahatan tindak korupsi yang telah ditindak pada tahun 2021 sebanyak 533 kasus dan meningkat 8,63% menjadi 579 kasus yang terdata pada tahun 2022. Jika dirata-rata, mungkin sekitar 1-2 tersangka dalam per hari. Itu pun masih beberapa lembaga yang tertangkap, bagaimana dengan yang tidak?
Tidak sampai pada kasus yang terkuak pada setiap tahunnya, pemberian hukuman terhadap pelaku juga tak sedikit yang dinilai kurang sesuai. Seperti salah satunya hukuman yang diberikan kepada mantan DPRD Kabupaten Bengkalis, yang semula diberikan tuntutan oleh jaksa delapan tahun enam bulan penjara, diringankan menjadi delapan belas bulan penjara. Meskipun pada seluruh pelaku kejahatan dapat mengajukan keringanan kepada jaksa, perbedaan keringanan ini dinilai sangat jauh dengan tuntutan awal. Hal ini juga yang menjadikan kepercayaan masyarakat akan adilnya hukum di Indonesia rendah.
Masyarakat terkadang juga membandingkan tindak korupsi dengan kasus-kasus ringan seperti pencurian biasa yang marak diberitakan di media sosial. Seperti contoh adanya perbedaan hukuman yang signifikan pada seorang lansia yang mencuri kayu dengan pejabat muda yang melakukan korupsi hingga milyaran rupiah. Hal ini yang menjadikan masyarakat mungkin berpikir bahwa tindak korupsi bukan hanya sebuah penipuan saja, melainkan juga mengambil hak milik mereka dan negara. Selain itu, seperti pelaku, mantan, maupun orang yang ikut mendukung adanya korupsi, beberapa masih dapat berkesempatan untuk menjadi salah satu pejabat pemerintahan setelah masa hukuman berakhir. Sehingga, kebanyakan masyarakat, terlebih masyarakat dengan pendidikan terbatas yang kurang memahami aturan hukum negara menilai ketetapan Undang-undang dan fakta yang terjadi di lapangan kurang sesuai. Pada point of view masyarakat yang menilai dengan perasaan nurani, tentu merasa bahwa hukum di Indonesia tidak seimbang. Dalam artian tidak menerapkan peri kemanusiaan seperti yang diikrarkan dalam dasar negara.
Sejatinya kasus tindak korupsi di Indonesia memang dilabeli sebagai salah satu tindak kriminal yang sangat kejam, terlebih lagi jika yang melakukan hal tersebut adalah pejabat pemerintahan. Namun, sepertinya saat ini fakta tersebut hanya ibarat ukiran di atas permukaan air. Semua orang dapat merasakan, namun tak sedikit yang memilih untuk berpura-pura tak melihat. Sebagai masyarakat biasa yang tidak tergabung dalam badan hukum, hanya dapat memberikan teriakan suara agar para pemerintah menjalankan tugas dengan adil dan tentunya mengedepankan rasa kemanusiaan. Karena bagaimanapun juga dasar negara yang menjadi acuan peraturan perundang-undangan di Indonesia didasari oleh pancasila.
Banyaknya kasus korupsi yang merajalela ini dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang cukup mengkhawatirkan, terlebih lagi di kalangan generasi muda. Generasi muda dapat mengikuti arus normalnya tindak korupsi, karena terlalu seringnya melihat kejahatan kriminal di negara. Apalagi dengan tingkat pendidikan yang cukup, menjadikan generasi muda dapat berbuat lebih 'pintar' dalam bermain uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H