“Ngobrol sama kamu seru, deh,” katanya pada suatu malam, di salah satu meja angkringan pinggir jalan dekat alun-alun kota.
“Oya?” sahutku sembari tersenyum simpul. “Serunya kenapa, tuh?”
Bola matanya menatap ke atas, memikirkan alasan juga rangkaian kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaanku. Aku menyesap teh tawar hangat untuk menunggunya.
“Hmm… Karena nyambung aja gitu. Kita punya banyak hobi yang sama. Kopi, fotografi, astronomi, dan selera musik kamu juga fleksibel. Asik.”
Aku menahan diri supaya kedua sudut bibirku tidak semakin berjauhan. Jemariku menggenggam gelas teh, membuat sensasi hangatnya terasa sampai hati.
“Ooh, bukan karena suka?”
“Ya kalo itu udah pasti,” jawabnya cepat sambil menengok ke arahku. Menatap penuh arti.
Aku tidak bisa tidak tersenyum lebar mendengar ucapannya. Kupalingkan wajahku ke sisi lain, hangat gelas teh yang kugenggam mengalir ke kedua pipiku.
“Eh, kenapa?” Ia bertanya dengan nada iseng. Aku menggelengkan kepala. Padahal aku sudah tau ia akan merespon apa, tetapi jantungku tetap saja seperti mau meledak. Tak lama, ia tertawa, mengerti kalau aku saat ini sedang salah tingkah. Gila, aku sudah gila.
Semenjak hubungan romantisme enam tahunku berakhir, aku memutuskan tidak ingin menjalin ikatan dengan siapapun lagi.