Jutaan anak-anak dari generasi ke generasi datang silih-berganti memasuki tembok sekolah. Namun, kenyataan yang kita lihat dan kita rasakan adalah bahwa :
1)nilai kesalehan, baik individu maupun sosial, sepertinya nyaris tak terhayati dan teraplikasikan dalam kehidupan nyata.
2)merebaknya kasus korupsi, kolusi, manipulasi, kejahatan krah putih, atau perilaku negatif lainnya, yang kesemuanya dilakukan oleh orang-orang yang notabene sangat kenyang “makan sekolahan”.
3)Pendidikan tidak lebih dipandang sebagai bahan komoditas untuk meraih keuntungan finansial .
4)Yang lebih menyedihkan lagi, negeri kita dinilai hanya mampu menjadi bangsa “penjual” tenaga kerja murah di negeri orang.
5)UN yang seaharusnya menjadi parameter kualitas pendidikan malah menjadi faktor yang membebani biaya pendidikan siswa. UN telah melahirkan proyek-proyek finansial di sekolah-sekolah melalui penyelenggaraan bimbingan belajar dengan biaya yang lumayan mahal hanya karena untuk sebuah alasan, yaitu mengejar kelulusan UN
Ditengah-tengah dunia pendidikan yang begitu memprihatinkan tersebut muncul berbagai kasus yang mencoreng dunia pendidikan kita. Pelecehan seksual, kekerasan fisik dan lain sebagainya adalah beberapa contoh dari segudang realitas permasalahan yang seringkali muncul dalam pemberitaan di media, cetak maupun elektronik. Berita semacam itu sepertinya sudah menjadi santapan kita sehari-hari.
Baru-baru ini kekerasaan fisik disebuah lembaga pendidikan, sebuah perguruan tinggi ilmu pelayaran, kembali memakan korban nyawa. Untuk kesekian kalinya lembaga pendidikan menjadi ajang festival kekerasan. Seorang anak didik yang seharusnya menjadi aset bangsa untuk kemajuan negarayang sedang terpuruk ini ternyata harus meninggalmelalui tindakan kriminal yang secara diam-diam diakui sebagai bagian dari tradisi sekolah tinggi tersebut. Dikatakan tradisi karena seperti diakui oleh korban melalui ibu angkatnya bahwa kekerasan memang kerap kali dialami korban di lembaga tersebut. Inilah sisi lain wajah suram sistem pendidikan kita.
Haruskah kembali muncul korban-korban tak berdosa karena sebuah tradisi yang seharusnya DIHARAMKAN dalam dunia pendidikan? Haruskah aset-aset potensial bangsa ini meregang nyawa untuk sebuah tradisi kriminal? Pantaskah senioritas dijadikan alat pembenaran untuk sebuah tindak kekerasan? Beranikah Mendikbud mengambil langkah-langkah tegas untuk membongkar habis tradisi yang mengakar di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran atau di sekolah-sekolah tinggi lainnya. Mengapa UN yang memakan anggaran mahal dan menjadi proyek komoditas di sekolah dan lembaga-lembaga bimbel malah menjadi fokus utama pemerintah? Bukankah dengan menjamurnya bimbel-bimbel didalam sekolah maupun diluar sekolah itu merupakan bukti bahwa sistem pembelajaran di sekolah tersebut belum optimal ? Atau memang UN itu sendiri inti permasalahannya yang menyebabkan sistem pembelajaran menjadi tidak optimal?
Sekarang ini sudah saatnya kita berfikir tentang membangun sebuah sistem pendidikan yang terbebaskan dari aspek kekerasan dalam berbagai bentuk manifestasinya serta terbebaskan dari hipokritas serta komoditas yang merendahkan hakekat pendidikan itu sendiri.
Selamat jalan Dimas Dikita Handoko (19). Semoga apa yang menimpamu tidak menimpa teman-temanmu yang lainnya dan juga adik-adik kelasmu di STIP, Marunda, Jakarta Utara. Semoga rahmat Allah SWT senantiasa mengiringi perjalananmu menuju hadlirat Ilahi Robbi. Aamiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H