“Disaat aku tak kuasa menjatuhkan air mata, disaat aku tak mampu untuk berduka, dan disaat aku tak sanggup untuk terluka, disinilah aku mati..”
Akulah sang pujangga dalam istana megah
Istana megah dengan penguasa yang angkuh
Dengan dua prajurit setia sang penguasa
Duaprajurit setia yang patuh akan perintahnya
Sebuah pernyataan indah yang tak terungkap dariku
Dan sebuah kenyataan pula yang tak terucap darinya
Darinya sang pujangga yang memberi kesan dalam hidupku
Sang pujangga dalam istana sebrang sana
Aku rasa semuanya normal saat aku diberikan sebuah rasa
Rasa yang semua orang pernah merasa
Merasakan perasaan yang aku yakini indah dalam asa
Seindah saat pelangi menghiasi sang langit di angkasa
Akulah sang pujangga yang saat itu tertekan
Tertekan karena pernyataan yang tak terungkap
Kini sesuatu yang tak terungkap itupun diungkapkan
Pernyataan adu domba dari istana tetangga lainnya
Tanpa alasan sang penguasa melarangku
Tanpa ucapan dan sepatah rasionalisasi
Membuatku masih menginginkan untuk mempertahankan rasaku
Mempertahankan rasaku dengan rasionalisasi
Dengan rasionalisasi yang aku pegang aku tegar
Aku sabar dengan dukungan sang pujangga dari istana sebrang itu
Dialah yang mampu mebuatku tegar
Dia pula yang membuatku mampu bertahan dengan apa yang aku mau
Aku mencoba melarikan diri dari kekangan sang penguasa
Mencoba memperjuangkan kisahku dengannya
Meskipun aku yakin sang penguasa tidaklah bodoh
Meski aku tau penggalanlah akibat dari perbuatanku
Segerombolan pemanah terlihat dari kejauhan
Pengaduan pada sang penguasa dari istana tetangga
Hingga sang penguasalah yang melepaskan busur panahnya kearahku
Disinilah aku mati
“Seolah hidup ini terasa tak adil, terkenang pahitnya keadaan relung yang tak berdaya akan kekuasaan seseorang , hingga disaat aku tak sanggup untuk pahatan akan luka, disinilah aku mati..”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H