Mohon tunggu...
Nadya Saskia Azzahra
Nadya Saskia Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Students for Palestine: Advokasi Mahasiswa dan Perjuangan Keadilan Global di Australia

13 Desember 2024   13:39 Diperbarui: 13 Desember 2024   13:39 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gerakan mahasiswa memainkan peran yang sangat penting dalam berbagai perjuangan sosial, baik di tingkat lokal maupun global. Salah satu bentuk advokasi yang paling menonjol dalam dekade terakhir adalah gerakan solidaritas mahasiswa terhadap Palestina, yang di Australia dikenal dengan nama Students for Palestine. Gerakan ini hadir di hampir setiap universitas besar, termasuk University of Sydney, University of Melbourne, Monash University, hingga Australian National University, serta memanfaatkan media sosial seperti Instagram untuk memperluas pengaruh mereka.

Solidaritas mahasiswa terhadap Palestina di Australia muncul dari serangkaian peristiwa penting di Timur Tengah dan meningkatnya perhatian internasional terhadap konflik Israel-Palestina. Salah satu momen yang menjadi katalis adalah serangan Israel terhadap Gaza pada 2008-2009, yang memicu kemarahan global terhadap penderitaan warga Palestina. Di kampus-kampus Australia, mahasiswa mulai membentuk kelompok diskusi kecil dan mengadakan acara kesadaran untuk mendukung perjuangan Palestina.

Gerakan ini mendapatkan dorongan signifikan dengan peluncuran kampanye Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) pada 2005. Kampanye ini menyerukan boikot terhadap produk dan perusahaan yang mendukung pendudukan Israel, divestasi dari institusi yang terlibat dalam konflik, serta sanksi internasional terhadap Israel hingga hak-hak warga Palestina dihormati. Mahasiswa di Australia melihat kampanye BDS sebagai cara strategis untuk mempengaruhi kebijakan institusi mereka, terutama karena banyak universitas memiliki hubungan finansial dengan perusahaan multinasional seperti Elbit Systems dan Caterpillar Inc., yang diketahui terlibat dalam pendudukan militer (Baroud, 2018).

Selain itu, peristiwa seperti "Freedom Flotilla" pada 2010, yang melibatkan aktivis internasional mencoba mengirim bantuan ke Gaza, juga memicu perhatian lebih besar di kalangan mahasiswa Australia. Kesadaran ini tidak hanya tumbuh dari solidaritas terhadap penderitaan Palestina tetapi juga sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan luar negeri Australia yang sering kali mendukung sekutu Barat, termasuk Israel.

Pada dekade pertama pembentukannya, advokasi solidaritas mahasiswa terhadap Palestina di Australia masih bersifat sporadis dan terfragmentasi. Namun, seiring waktu, muncul kebutuhan untuk menyatukan kelompok-kelompok ini di bawah satu payung. Pada awal 2010-an, jaringan Students for Palestine dibentuk sebagai koalisi nasional yang terdiri dari cabang-cabang lokal di berbagai universitas.

Di tingkat lokal, masing-masing universitas memiliki akun media sosial mereka sendiri untuk mempromosikan aktivitas terkait Palestina. Sebagai contoh, akun Instagram seperti UniMelb for Palestine, RMIT for Palestine, dan Students for Palestine - UNSW telah menjadi pusat informasi dan koordinasi aksi. Gerakan ini tidak hanya terbatas pada protes jalanan, tetapi juga melibatkan petisi, lokakarya, dan diskusi akademis untuk mengedukasi komunitas kampus tentang isu Palestina.

Salah satu momen penting dalam konsolidasi gerakan ini adalah protes massal yang dilakukan pada 2014 di seluruh Australia sebagai respons terhadap serangan militer Israel di Gaza. Aksi ini berhasil memobilisasi ribuan mahasiswa dari berbagai latar belakang dan mendapat perhatian luas di media nasional (Overland, 2023). Selain itu, koordinasi antara cabang-cabang di universitas membuat gerakan ini lebih terorganisir dalam merespons isu-isu mendesak, seperti blokade Gaza dan kekerasan di Tepi Barat.

Media sosial, terutama Instagram, memainkan peran penting dalam memperkuat dan memperluas gerakan Students for Palestine. Akun-akun universitas menggunakan platform ini untuk menyebarkan informasi, membangun kesadaran, dan memobilisasi aksi. Dengan konten seperti infografik, video protes, dan seruan aksi, mereka berhasil menciptakan narasi alternatif yang melawan dominasi media arus utama.

Misalnya, akun Students for Palestine UNSW baru-baru ini memposting serangkaian video yang menyoroti penderitaan warga Gaza selama blokade Israel. Video ini tidak hanya menarik ribuan tampilan tetapi juga memicu diskusi aktif di kolom komentar, menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjadi ruang dialog yang penting (Said, 2024).

Platform seperti Instagram juga memungkinkan gerakan ini untuk menjangkau audiens global. Kolaborasi dengan akun internasional seperti Palestinian Youth Movement dan BDS Movement membantu menyebarkan pesan mereka ke luar negeri, memperkuat solidaritas lintas batas. Selain itu, penggunaan tagar seperti #FreePalestine dan #BDS membuat konten mereka lebih mudah ditemukan oleh audiens yang lebih luas. Namun, meskipun media sosial memberikan ruang untuk ekspresi, algoritma dan sensor platform sering kali menjadi tantangan. Beberapa akun gerakan telah melaporkan penghapusan konten tanpa penjelasan, yang menunjukkan adanya kendala dalam memanfaatkan media digital untuk tujuan advokasi.

Gerakan Students for Palestine di Australia telah mencapai beberapa keberhasilan penting dalam mendorong perubahan kebijakan di tingkat institusional. Sebagai contoh, pada 2019, University of Sydney setuju untuk mengkaji ulang investasinya di perusahaan militer setelah adanya tekanan dari mahasiswa dan serikat akademisi. Langkah ini menunjukkan bagaimana advokasi mahasiswa dapat memengaruhi kebijakan institusi yang sering kali terlihat tak tergoyahkan (Times Higher Education, 2024). Selain itu, gerakan ini berhasil mendorong universitas untuk mengambil sikap yang lebih tegas terhadap isu hak asasi manusia. Beberapa universitas bahkan mulai mengadopsi kebijakan etis dalam investasi mereka, menghindari perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Di tingkat akademik, gerakan ini juga berhasil memasukkan isu Palestina ke dalam kurikulum di beberapa universitas, baik melalui seminar, lokakarya, maupun diskusi terbuka. Inisiatif ini menunjukkan bagaimana advokasi mahasiswa dapat melampaui protes jalanan dan menciptakan perubahan struktural yang lebih mendalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun