Mohon tunggu...
Nadya Saskia Azzahra
Nadya Saskia Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi Hak Perempuan di Indonesia

16 Oktober 2024   13:38 Diperbarui: 16 Oktober 2024   13:39 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hak-hak perempuan di Indonesia telah menjadi subjek perdebatan dan perjuangan selama beberapa dekade terakhir. Di tengah perkembangan masyarakat modern, kebutuhan perempuan untuk mendapatkan hak-hak fundamental, seperti hak atas pendidikan dan kesehatan, menjadi semakin jelas. Kedua hak ini dianggap sebagai landasan untuk mencapai kesetaraan gender dan kemajuan sosial. Pendidikan memungkinkan perempuan untuk meningkatkan kualitas hidup, berpartisipasi dalam dunia kerja, dan memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat. Sementara itu, akses terhadap layanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi, sangat penting untuk memastikan kesejahteraan fisik dan mental perempuan, yang berdampak langsung pada keluarga dan komunitas di sekitarnya. Namun, meskipun hak-hak ini secara hukum dijamin oleh negara dan didukung oleh nilai-nilai agama, tantangan dalam implementasi tetap ada, terutama di daerah-daerah terpencil dan dalam konteks budaya patriarkal yang masih kuat. 

Agama, khususnya Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia, mendukung kesetaraan hak bagi perempuan dalam hal pendidikan dan kesehatan. Negara melalui konstitusi dan undang-undang juga telah menetapkan jaminan atas hak-hak ini. Namun, kenyataannya di lapangan sering kali berbeda, di mana akses perempuan terhadap pendidikan dan kesehatan masih terhambat oleh berbagai faktor, termasuk norma sosial, ketidaksetaraan ekonomi, dan kurangnya fasilitas yang memadai. Pendidikan adalah salah satu hak dasar yang diakui baik dalam Islam maupun oleh negara Indonesia. Dalam ajaran Islam, pendidikan adalah kewajiban bagi semua umat, baik laki-laki maupun perempuan. Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya menuntut ilmu, tanpa membedakan jenis kelamin. 

Salah satu hadis beliau menyatakan, "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim," yang menunjukkan bahwa perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Pendidikan dalam Islam bukan hanya sekadar alat untuk meningkatkan status sosial, tetapi juga dianggap sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berkontribusi pada kebaikan masyarakat. Dengan pendidikan, perempuan tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas pribadi, tetapi juga memperkuat keluarga dan komunitasnya. Dari perspektif negara, Indonesia telah memberikan hak yang jelas kepada perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara, tanpa memandang jenis kelamin, berhak mendapatkan pendidikan. 

Negara juga telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, yang mengharuskan pemerintah untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam bidang pendidikan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Namun, meskipun ada landasan hukum yang kuat, data menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan dalam akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan, terutama di daerah terpencil dan di kalangan kelompok ekonomi bawah. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, tingkat partisipasi pendidikan perempuan di Indonesia, meskipun meningkat, masih lebih rendah dibandingkan dengan lakilaki, terutama pada jenjang pendidikan tinggi. Di daerah-daerah pedesaan, kesenjangan ini bahkan lebih besar. 

Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kemiskinan, anggapan bahwa pendidikan perempuan tidak sepenting laki-laki, dan akses yang terbatas ke sekolahsekolah berkualitas. Banyak keluarga di daerah terpencil masih memprioritaskan pendidikan anak laki-laki, sementara anak perempuan sering kali diarahkan untuk segera menikah dan menjalani peran tradisional sebagai ibu rumah tangga. Pandangan ini tidak hanya membatasi potensi perempuan tetapi juga mencerminkan hambatan budaya yang masih ada di masyarakat kita (Oey-Gardiner, 2002). Salah satu contoh yang mencerminkan kesulitan perempuan dalam mengakses pendidikan adalah di daerah-daerah terpencil di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua, di mana tingkat partisipasi sekolah perempuan jauh lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. 

Menurut BPS, hanya sekitar 38% perempuan di Papua yang menyelesaikan pendidikan menengah, jauh di bawah rata-rata nasional. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun hak pendidikan sudah diakui secara hukum, implementasi dan akses terhadap pendidikan bagi perempuan di daerah-daerah terpencil masih sangat minim. Selain pendidikan, hak atas kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi, juga menjadi hak yang sangat penting bagi perempuan. Dalam Islam, kesehatan adalah anugerah dari Allah yang harus dijaga. Al-Qur'an memberikan panduan tentang pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental, serta memperlakukan tubuh sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Kesehatan reproduksi, yang mencakup kesehatan selama masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan, sangat dihargai dalam Islam, dan perempuan berhak mendapatkan perlindungan serta perawatan yang layak selama proses ini. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi perempuan di Indonesia adalah tingginya angka kematian ibu saat melahirkan. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kematian ibu di Indonesia masih mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2022). Angka ini lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Vietnam. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan, terutama yang berhubungan dengan layanan kesehatan reproduksi, masih belum optimal. Padahal, kesehatan reproduksi merupakan bagian fundamental dari hak kesehatan perempuan, yang mencakup akses ke layanan prenatal, persalinan yang aman, dan penanganan pasca melahirkan. Dalam ajaran Islam, menjaga kesehatan ibu adalah bagian dari pemeliharaan kehidupan, yang merupakan salah satu tujuan utama dari syariat (maqashid al-shariah). Dalam hal ini, ada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Siapa yang memelihara dua anak perempuan sampai dewasa, ia akan masuk surga bersama aku seperti ini" sambil menunjukkan kedua jari beliau yang bersatu (HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap perempuan, termasuk dalam aspek kesehatannya, mendapatkan tempat yang istimewa dalam Islam. Namun, selain permasalahan kesehatan reproduksi, isu kekerasan terhadap perempuan juga menjadi tantangan serius. 

Laporan Komnas Perempuan (2021) menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terus meningkat, dengan lebih dari 11.000 kasus dilaporkan setiap tahun (Komnas Perempuan, 2021). Kekerasan ini, baik fisik maupun psikologis, berdampak langsung terhadap kesehatan perempuan, baik secara fisik maupun mental. Dalam Al-Qur'an, Surah An-Nisa ayat 19 menyatakan, "Dan pergaulilah mereka (istriistrimu) dengan baik. Jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." Ayat ini menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan, terutama dalam konteks rumah tangga, sangat bertentangan dengan ajaran Islam. 

Dari perspektif negara, hak perempuan atas kesehatan dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pasal 28H UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan layanan kesehatan, yang mencakup juga layanan kesehatan reproduksi bagi perempuan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga memberikan dasar hukum yang kuat bagi perlindungan kesehatan ibu dan anak, termasuk akses terhadap layanan kesehatan selama masa kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan. Namun, meskipun regulasi ini sudah ada, tantangan implementasi masih sangat besar. Misalnya, distribusi layanan kesehatan yang tidak merata antara kota besar dan daerah terpencil menjadi salah satu hambatan. Data yang ada menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius terkait hak-hak kesehatan mereka. 

Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2020, lebih dari 30% perempuan di Indonesia mengalami hambatan dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi (SDKI, 2020). Hambatan ini mencakup masalah geografis, ekonomi, hingga norma sosial yang membatasi kebebasan perempuan untuk mendapatkan perawatan medis. Selain itu, studi dari Rifka Annisa (2018) menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan di Indonesia mengalami kekerasan dalam bentuk fisik atau seksual di sepanjang hidup mereka (Rifka Annisa, 2018). Kekerasan ini sering kali terjadi di dalam rumah tangga, dan banyak korban yang merasa sulit melaporkan kejadian tersebut karena tekanan sosial dan norma-norma budaya yang ada. Dari sudut pandang agama, pentingnya melindungi perempuan dari kekerasan sudah jelas disebutkan dalam banyak ayat Al-Qur'an dan hadits. Surah Al-Baqarah ayat 228 menyebutkan, "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf." 

Ini menegaskan bahwa hak perempuan dalam hal perlindungan diri, termasuk dari kekerasan, harus dihormati dan dipenuhi. Dalam konteks ini, negara juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan, di mana mereka dapat hidup tanpa takut terhadap kekerasan atau diskriminasi. Dari berbagai argumen dan data di atas, dapat disimpulkan bahwa hak pendidikan dan kesehatan perempuan adalah dua hak yang paling mendesak untuk diperjuangkan di Indonesia saat ini. Pendidikan yang baik dan akses terhadap layanan kesehatan yang memadai tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas hidup individu perempuan, tetapi juga berdampak besar pada keluarga dan masyarakat. Baik dari perspektif agama maupun negara, hak-hak ini diakui dan didukung. Namun, tantangan terbesar adalah memastikan implementasinya di lapangan, di mana masih banyak perempuan yang belum menikmati hak-hak ini secara penuh. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama yang kuat antara pemerintah, lembaga agama, dan masyarakat untuk memperbaiki kondisi ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun