Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, negara ini menghadapi berbagai tantangan besar dalam Upaya membangun kestabilan perekonomian yang hancur akibat penjajahan Panjang. Tingginya inflasi, ketidakpastian politik, dan blockade ekonomi Belanda menjadi tantangan utama. Inflasi yang tinggi menyebabkan harga kebutuhan pokok melambung yang membuat masyarakat di kota -- kota besar seperti Surabaya merasa terbebani. Selain itu, dominasi Perusahaan asing terutama yang dikelola oleh Belanda memperlambat pemulihan ekonomi nasional. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk melakukan nasionalisasi Perusahaan asing sebagai bentuk Upaya mengalihkan kepemilikan dan pengelolaan Perusahaan kepada bangsa Indonesia.
Namun, proses menasionalisasi tidaklah mudah. Kurangnya tenaga ahli dan pekerja terampil menjadi penghambat dalam pengelolaan Perusahaan besar. Di Tengah keterbatasan sektor formal, sektor informal mulai memainkan peran yang muncul sebagai penyelamat perekonomian masyarakat Surabaya.
Perekonomian Surabaya Pasca -- kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan, Surabaya sebagai kota terbesar di Jawa Timur sekaligus pusat perdagangan juga menghadapi kondisi ekonomi yang sulit. Perang kemerdekaan seperti peritiwa 10 November 1945 menghancurkan infrastruktur kota, termasuk Pelabuhan, jalur transportasi, pasar, dan fasilitas umum. Situasi ini mengganggu aktivitas perdagangan yang sebelumnya menjadi tulang punggung ekonomi Surabaya. Selain itu, instabilitas politik, transisi dari ekonomi kolonial ke nasional, dan kebijakan ekonomi yang sering tidak konsisten membuat perekonomian semakin terpuruk.
Soekarno sangat membenci dasar-dasar pemikiran Barat, termasuk sistem Ekonomi Liberal/Kapitalisme. Soekarno menganggap sistem Kapitalisme-liberal selama masa penjajahan Belanda benar-benar menyengsarakan rakyat Indonesia sehingga aliran ini dibenci dan diusir dari Indonesia. Menurut Soekarno, untuk mengusir dan mengimbangi kekuatan ekonomi sistem Kapitalisme-liberal Indonesia harus menerapkan pemikiran dari Marhaenisme yaitu Marxisme. Tetapi pada tahun 1959, sistem paham kapitalisme liberal secara resmi ditolak dengan diberlakukannya lagi UUD 1945 sebagai landasan dari sistem ekonomi nasional. Soekarno menerapkan sistem ekonomi komando seperti yang diterapkan pada negara - negara beraliran komunis seperti Uni Soviet (sekarang Rusia), China, dan negara - negara Eropa Timur. Dengan diterapkannya sistem ekonomi komando ini, semua rencana dan keputusan yang menyangkut pembangunan ekonomi termasuk pemilihan industri yang akan dibangun, tentunya sepenuhnya dipegang oleh pemerintah pusat.
Pemerintah pusat memegang penuh kendali atas Pembangunan ekonomi, termasuk menentukan sektor industry yang akan dikembangkan. Namun, kebijakan ini tidak berjalan mulus, ketidakstabilan politik, pergantian kabinet yang terlalu sering terjadi, dan kebijakan moneter yang tidak efektif, seperti percetakan uang secara berlebihan yang justru memperburuk situasi ekonomi. Pada tahun 1965, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 0,5% dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,6%.
Surabaya yang juga terdampak kebijakan nasionalisasi Perusahaan asing, menghadapi disrupsi ekonomi. Perusahaan asing yang sebelumnya mendominasi sektor formal tidak mampu lagi menyerap tenaga kerja secara maksimal. Akibatnya, banyak masyarakat yang beralih ke sektor informal untuk bertahan hidup.
Peran dan perkembangan sektor InformalÂ
Sektor informal di Surabaya memainkan peran penting dalam menopang perekonomian lokal setelah kemerdekaan. Ketidakmampuan sektor formal menciptakan lapangan kerja yang memadai membuat masyarakat mencari alternatif di sektor informal. Aktivitas ekonomi informal, seperti pedagang kaki lima, tukang becak, buruh pelabuhan, dan pengrajin rumahan, menjadi andalan banyak warga. Pasar-pasar tradisional juga menjadi pusat ekonomi informal, di mana pedagang kecil menjual kebutuhan pokok dengan harga yang lebih terjangkau.
Karakteristik sektor informal mencakup aktivitas ekonomi berskala kecil, manajemen individu, dan tidak terorganisasi secara resmi. Faktor utama yang mendorong perkembangan sektor informal adalah urbanisasi. Banyak orang dari daerah pedesaan datang ke Surabaya tanpa keterampilan yang cukup untuk bekerja di sektor formal. Mereka akhirnya menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Di Surabaya, salah satu contoh penting adalah peran becak sebagai alat transportasi. Selain mengangkut manusia, becak juga digunakan untuk mengangkut barang. Pada tahun 1951, tercatat ada sekitar 10.000 becak di Surabaya. Pelabuhan Tanjung Perak juga menjadi pusat aktivitas ekonomi informal, di mana buruh pelabuhan dan penyedia jasa transportasi memainkan peran penting dalam distribusi barang.