Saat malam terasa sangat sepi, ku hanya bisa melamunkan diri di dalam kamar kost, atau berkumpul bersama teman senasibku. Biasanya kita menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas bersama dan bercerita seputar kehidupan. Ada kalanya begitu rasa bosan menghampiri kita berdua keluar mencari udara segar menjadi cara jitu untuk menghapus segala beban fikiran yang sedang kita rasakan sambil menikmati keindahan kota.
Tinggal di tempat kost banyak hal yang menyedihkan, terutama harus bisa hidup disiplin membagi waktu kapan harus belajar, memasak, mencuci baju, dan masih banyak lagi. Semua itu aku lakukan sendiri sehingga tidak ada waktu bagiku untuk bermain-main. Tinggal di kost memang penuh penderitaan makan apa adanya, tidur seadanya, ditambah lagi jika uang dari orang tua cuman pas-pasan, aku harus bisa membagi uang tersebut utuk buku, makan dan sebagainya.
Hampir satu tahun waktu berjalan, aku semakin terbiasa dengan kehidupanku sebagai anak kost yang hidup diperantauan yang terkadang selalu merasa sepi dan rindu suasana rumah. Bulan Ramadhan pun datang, aku tidak bisa pulang kerumah karena jadwal perkuliahanku yang sangat padat, dan masih banyak tugas-tugas perkuliahanku yang tak kunjung selesai. Hal ini menjadi penyebab mengapa aku tidak kunjung pulang kerumah.
Ibuku selalu menghubungiku dan memintaku untuk pulang kerumah, ia menginginkanku agar aku bisa berada dirumah pada hari pertama puasa. Namun, tetap saja aku mengatakan padanya bahwa aku benar-benar tidak bisa. Di kala aku jauh dari rumah dan orangtua, tentu rasa rindu selalu saja menghampiriku. Takdirku sebagai orang yang harus meninggalkan kota kelahiranku demi impian-impianku. Di perantauan, aku seringkali merasakan rindu yang sangat dalam.
Walaupun aku bisa sedikit mengobatinya dengan menelepon orang tuaku, tetapi rindu ini belum terobati jika aku belum berada di rumah. Begitulah rasanya menjadi anak rantau. Seringkali ibuku menelpon menanyakan kapan pulang. Aku sudah tidak asing lagi dengan pertanyaan kapan pulang. Begitulah pertanyaan saat aku tidak berada di rumah. Bukannya aku tidak ingin untuk pulang ke rumah, akan tetapi aku hanya mempunyai kesempatan untuk pulang saat libur akhir semester.
Hari pertama puasa pun tiba, aku benar-benar merasakan kesepian yang sangat dalam. Biasanya setiap waktu sahur, ibuku menyajikanku makanan untuk aku santap. Kini, aku harus menyiapkan segalanya dengan kesendirianku. Dengan hanya menyantap satu gelas mie instan yang hanya itu bisa kulakukan di hari itu, menyedihkan rasanya terlebih aku telat untuk terbangun dari tempat tidurku aku menyantap makanan sahurku secara tergesa-gesa.
Sore hari itu, aku menatap jendela kamar kost-ku dengan rasa kesedihan. Aku rindu rumah, ada banyak beban yang ingin kulepaskan. Rumah merupakan tempat yang tepat untuk menenangkanku dari berbagai masalah yang kualami. Rumah selalu punya cara untuk meneduhkan dari berbagai keletihanku sebagai anak rantau, karena di dalamnya ada rasa cinta yang tidak pernah terbataskan dari sosok ibu.
Namun, segala pengalaman yang ada dihidupku menjadi seorang anak perantauan tidak juga membosankan dan juga menyedihkan. Ada kalanya aku bisa tetap merasakan kebahagiaan hingga kasih sayang yang diberikan oleh sang kekasihku bernama Baiz, ia merupakan sosok laki-laki yang sangat pengertian dan baik hati. Aku menganggapnya sebagai pengganti sosok dari ayahku yang sudah lama meninggalkanku.
Berdua bersamanya, mengajarkanku apa artinya kenyamanan dan kesempurnaan cinta. Banyak hal-hal yang telah kita lewati bersama, kita saling melengkapi satu sama lain. Baiz selalu ada disaat aku membutuhkannya, disaat aku membutuhkan seseorang untuk bercerita, dan selalu mengajakku untuk mengelilingi indahnya kota. Hal ini, dia lakukan agar aku selalu tidak merasa kesepian di kota perantauan ini.
Pergi merantau bukanlah perkara yang mudah, jauh dari orang tua adalah hal yang paling sulit dijalani dimana suasana sangat berbeda sekali. Sejujurnya kesedihan terberat yang ada di hatiku adalah jauh dari ibu, apalagi hanya ibu yang aku punya. Sejauh apapun jarak memisahkan, percayalah dilubuk hatiku, aku akan membahagiakanmu ibu.
 Mungkin, jika aku tetap hidup di kota kelahiranku selamanya, sedikit pengalaman yang akan aku dapatkan. Aku juga tidak akan merasakan rasanya hidup jauh dari orangtua. Menjalani Hidup dengan penuh kemandirian, dan harus melewati suka duka dengan diri sendiri agar menjadi pribadi yang kuat dalam menghadapi segala masalah yang akan kulalui. Demi mencapai segala harapan dan cita-cita di akhir nanti.