Jawa Barat merupakan wilayah dimana etnis yang berada di dalamnya didominasi oleh Suku Sunda. Hal ini didasari oleh sensus penduduk yang dilakukan oleh SP 2010 BPS bahwa suku sunda ada sebanyak 36.701.670 jiwa yang setara dengan 15 persen dari seluruh penduduk yang ada di Indonesia.Â
Tentunya hal ini menunjukkan bahwa peninggalan-peninggalan suku Sunda yang ada pada wilayah Jawa Barat sangatlah banyak dan juga beragam. Salah satu tempat peninggalan yang sampai sekarang masih ramai dikunjungi oleh masyarakat adalah Museum Sri Baduga. Museum yang terletak di depan Taman Tegallega dan berlokasi di Jalan BKR No. 185 ini masih sering dikunjungi oleh anak kecil hingga orang tua dewasa karena peninggalan khas Jawa Barat-nya yang masih dilestarikan kepada seluruh kalangan usia dengan harga tiket masuknya yang terjangkau sebesar Rp. 3.000.00,-
Peninggalan-peninggalan yang ada pada Museum Sri Baduga tentu berperan penting dalam pelestarian budaya yang dapat dipelajari sebagai nilai dan juga keyakinan yang dimiliki oleh suatu kelompok budaya, yaitu Jawa Barat. Hal ini sebagai tanda bahwa Jawa Barat memiliki identitas daerah dan budaya yang dimilikinya, baik itu dari segi kesenian, bahan pangan, pakaian, tempat tinggal, alat tukar uang, dan masih banyak lagi. Identitas yang dimiliki Jawa Barat, menjadikan masyarakat dapat mengetahui dan juga memahami bahwa budaya yang ada, merupakan budaya yang dimiliki oleh Jawa Barat.Â
Membahas mengenai Jawa Barat, Jawa Barat dikenal identik dengan keseniannya seperti dalam segi alat musik, cara bernyanyi, dan tarian-tariannya. Salah satu alat musik yang menjadi ciri khas dari Jawa Barat yang merupakan Tatar Sunda adalah gamelan. Terdapat banyak sekali jenis gamelan yang ada, namun salah satu gamelan yang sangat populer dan sering didengar oleh masyarakat adalah gamelan degung yang berkembang pada abad ke-18 hingga abad ke-19.Â
Alasan mengapa gamelan degung menjadi populer, adalah karena gamelan degung biasa digunakan oleh para bangsawan dan untuk menyambut para bangsawan. Rupanya, hal ini juga berkesinambungan dengan arti dari gamelan degung sendiri yaitu "degung" yang merupakan asal kata dari "ngadeg" yang berarti berdiri, dan "agung" atau "panggung" yang berarti mewah atau bangsawan.Â
Tentu saja, ketika sebuah alat musik ditujukan hanya untuk kalangan bangsawan, masyarakat akan memiliki persepsi, bahwa alat musik tersebut merupakan alat musik yang harus didengarkan dengan baik agar menciptakan suasana yang melekat bagi siapapun yang mendengarkannya. Namun seiring dengan lajunya perkembangan zaman, gamelan degung yang semula hanya diperbolehkan untuk dimainkan bagi kalangan bangsawan saja, sekarang sudah dapat dimainkan oleh masyarakat biasa.Â
Mengapa hal ini dapat terjadi?
Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu, Anang Thayib yang merupakan saudagar pasar baru Bandung yang juga merupakan sahabat dari bupati Cianjur (1912-1920) yaitu Raden Adipati Aria Wiranatakusumah, meminta permohonan kepada sahabatnya untuk membawakan permainan gamelan degung ke acara hajatan yang akan dilakukannya. Setelah permohonan tersebut dikabulkan oleh Raden Adipati Aria Wiranatakusumah, akhirnya permainan gamelan degung menjadi kesenian alat musik yang dapat digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat dan dimainkan di berbagai kegiatan seperti acara hiburan, khitanan, kawinan, dan lain-lain.
Beriringan dengan berkembangnya zaman, gamelan degung tidak hanya dimainkan sendirian, namun memiliki banyak alat musik yang mengiringinya, seperti gamelan degung yang ada di Museum Sri Baduga, Jawa Barat, diiringi dengan alat musik lainnya, yaitu: