Di era digital yang penuh tuntutan, mahasiswa Gen-Z kini dihadapkan dengan tantangan "toxic productivity" - sebuah budaya kerja yang mengancam kesehatan mental dan kesehatan diri.
Di era modern yang serba cepat dan kompetitif ini, mahasiswa dihadapkan pada tuntutan besar untuk berprestasi dan meraih kesuksesan. Namun, tekanan ini dapat membawa dampak negatif yang signifikan, seperti fenomena yang dikenal sebagai "toxic productivity" atau produktivitas yang ekstrem. Toxic productivity merupakan kecenderungan untuk terus-menerus bekerja tanpa henti, mengorbankan waktu istirahat, kesehatan mental, dan hubungan sosial demi mencapai tingkat produktivitas yang tidak sehat. Tuntutan akademis, kegiatan ekstrakurikuler, dan kebutuhan untuk selalu tampil produktif di media sosial seolah menjadi mantra sakti untuk meraih kesuksesan. Ironisnya, obsesi berlebihan terhadap produktivitas justru berpotensi mengikis kesehatan mental dan menghambat pertumbuhan pribadi yang sehat.
Produktivitas yang berlebihan telah menjadi hal baru di kalangan generasi muda, khususnya mahasiswa Gen-Z. Di era digital yang serba instan ini, mereka seringkali terjebak dalam budaya "hustle culture" yang mendorong mereka untuk terus bekerja tanpa henti, mengejar pencapaian demi pencapaian tanpa menghiraukan kesehatan mental dan fisik mereka sendiri. Tuntutan untuk selalu produktif dan menghasilkan sesuatu telah menjadi semacam kebutuhan, seolah-olah jika mereka tidak selalu sibuk, maka mereka dianggap gagal atau tidak cukup baik. Motivasi di balik perilaku ini cukup beragam. Ada yang bermaksud mengalihkan perhatian dari masalah pribadi, seperti proses move on atau menghindari kekosongan. Ada pula yang murni didorong semangat berprestasi.Â
Sayangnya kondisi toxic productivity ini tidak hanya berdampak pada kesehatan individu, tetapi juga menciptakan lingkungan akademik yang tidak sehat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tsabita et al. (2023), salah satu penyebab utama toxic productivity adalah FOMO (Fear of Missing Out), dimana remaja merasa tertekan untuk selalu aktif dan produktif agar tidak tertinggal dalam pencapaian dibandingkan dengan orang lain. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hampir 77% orang mengalami burn out akibat tekanan untuk selalu produktif, dan 42% meninggalkan pekerjaan mereka karena kelelahan.
Hal yang menjadi persoalan krusial dalam masalah ini adalah loss control atas diri hingga memaksakan diri untuk selalu berusaha keras produktif dalam kehidupan sehari- harinya. Toxic productivity menyebabkan kelelahan fisik dan mental, stres berlebihan, kecemasan, tidak dipungkiri sering muncul perasaan bersalah apabila tidak melakukan suatu kegiatan yang berguna, dan pada tingkatan level ekstrim dapat mengarah pada kejadian demotivasi, burnout syndrome dan bahkan penurunan prestasi akademik (Adjiwibowo et al., 2023).
Sehingga penting bagi mahasiswa untuk menyadari bahwa produktivitas yang sehat bukan hanya tentang bekerja tanpa henti. Mereka perlu belajar mengatur prioritas, meluangkan waktu untuk diri sendiri, dan memahami bahwa kesuksesan tidak selalu diukur dari pencapaian eksternal semata. Dengan demikian, keseimbangan hidup dapat tercapai, dan dampak negatif dari toxic productivity dapat diminimalisir. Dengan memahami batasan diri dan menghindari obsesi berlebihan terhadap pencapaian, mahasiswa Gen-Z dapat membangun kehidupan akademis yang lebih sehat dan seimbang. Â
Source:
Fenomena Flexing dan Fomo di Instagram: Persepsi Generasi Z terhadap Akun Instagram @siscakohl, @zhafiraiha, dan @jeromepolin (2023) Jurnal Interaksi Sosiologi, 2(2), pp. 62--69.
Tsabita, N.A. et al. (2023) 'Tren Toxic Productivity Sebagai Gejala Terjadinya Burnout Syndrome Terhadap Prestasi Akademik pada Remaja Rentang Usia 18-23 Tahun di Kota Bandung,' SOSMANIORA Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora, 2(4), pp. 495--501. https://doi.org/10.55123/sosmaniora.v2i4.2774.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H