ingin kulukis wajah kerinduan
di kelamnya langit sore ini
tapi kuas kehidupan telah hilang
tak tertemukan dalam pencarian diri
ingin kumuntahkan semua kata
di keheningan yang makin menyayat
tapi mulut terkatup kelu jengah
lidahku tiba-tiba bisu oleh dingin yang menyengat
ingin kutuliskan segala bebanku
lelah-letihku yang bertumpuk-tumpuk
tapi buku kehidupan telah penuh goresan paku
dari tulisan-tulisan alam yang lapuk
pada derasnya anak-anak sungai
tak pernah kulihat lelah-letih tergambar di wajahnya
untuk terus mencari Ibu sang muara
bertemu, menyatu, menyusu dalam damai
ingin kunyanyikan bait lara hati
di tengah gelegar petir yang pecahkan genderang
tapi gendang telinga dunia telah perih
pecah oleh berbagai macam bebunyian
lalu
aku harus kemana?
lalu
aku harus bagaimana?
membawa lelah-letihku yang tak terlukiskan
membawa lelah-letihku yang tak termuntahkan
membawa lelah-letihku yang tak tertuliskan
membawa lelah-letihku yang tak termuarakan
membawa lelah-letihku yang tak tertuangkan dalam nyanyian
membawa dan membawa
tanpa teralamatkan
dalam putusnya segala asa
dalam luruhnya semua daya
masih lelah-letih yang terus mendera
dalam ruang tak bertuan
kucoba mengetuk pintu hati Kehidupan
(dengan sisa-sisa kekuatan)
(dengan nafas yang tinggal satu kali hembusan)
terengah memanggulkan
(Denpasar-Bali, Kamis 25 Desember 2008, 1001 Puisi Nadya Nadine).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H