Jika semakin marak adanya bom bunuhdiri yang ditengarai sebagai wujud jihad saya melihatnya lebih mendasar lagi sebagai pengerucutan perjalanan panjang suatu keputusan personal. Dengan kata lain meledakkan diri dengan bom bunuhdiri hanyalah alat atau cara agar tercapai tujuan dalam mengakhiri hidup.
Jadi di sini meledakkan diri dengan bom adalah trend dari cara jitu bagi yang memang dasarnya sudah tidak ingin meneruskan hidupnya lagi.
Seseorang yang berniat ingin mengakhiri hidupnya sebenarnya bukanlah orang bodoh karena keputusan itu memerlukan keberanian yang tidak main-main. Ia pasti telah melalui perjalanan panjang sebuah konflik batin yang maha rumit. Seseorang yang memutuskan bahwa hidupnya tidak berharga tentunya telah banyak menimbang faktor-faktor penilai lain yang berkaitan dengan cara pandangnya terhadap kehidupan itu sendiri.
Artinya, kasus-kasus bom bunuh diri ini adalah suatu keputusan yang tidak asal-asalan melainkan sebuah perjalanan dari rencana-rencana besar yang sangat terstruktur dan matang.
Seseorang tersebut memulainya dengan keputusan bahwa hidupnya tidak berharga (dari menimbang dan menakar)jadi harus diakhiri. Kemudian ia memikirkan cara tepat mencakup efisiensi dan efektifitas seperti mengurangi kemungkinan gagalnya upaya bunuhdiri serta berkaitan dengan rasa sakit. Hingga tibalah ia dengan pilihan eksekusi diri yang dirasa paling sempurna dari kriteria-kriteria tersebut, yakni mati meledakkan diri dengan bom bunuhdiri.
Jadi sebetulnya orang-orang yang mati bunuhdiri dengan bom itu bisa kita anggap adalah bukan orang-orang bodoh disamping juga karena pengetahuan, teknologi, atau kemajuan turut mendukung di masa sekarang. Karena jika dia bukan orang pintar ia akan memilih cara-cara bunuhdiri manual/sederhana yang masih ada seperti gantung diri atau mengiris pergelangan tangan yang akurasi menuju matinya masih memungkinkan kegagalan serta prosesnya jelas-jelasÂ
Akhirnya kesimpulan saya, keputusan mengakhiri hidup itu bermula dari masalah psikologi bahkan cara pandang individu tentang agama itupun dipengaruhi oleh hal-hal yang sifatnya cetusan-cetusan kondisi mental sebelum bermuara pada indoktrinasi seperti pendapat yang berhamburan di ruang-ruang publik sekarang ini tentang jihad atau ingin bertemu 72 bidadari dan lain-lain.
Begitulah. Fenomena bom bunuh diri ini saya lebih melihatnya dari perspektif psikologinya. Karena bagi saya semua lebih banyak bermula dari sana.
Tentang sisi kelam jiwa manusia. Tentang eros dan thanatos. Tentang equilibrium dan disequilibrium.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H