Mohon tunggu...
Nachdya Gerdyolatanzur Alkaaf
Nachdya Gerdyolatanzur Alkaaf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Mahasiswa

Mahasiswa semester 2 jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) di Universitas Paramadina.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Widodo Budidarmo, Pemimpin yang Sesungguhnya

24 April 2022   23:44 Diperbarui: 24 April 2022   23:56 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang pemimpin harus tegas kepada siapa pun tanpa memandang bulu. Ia
harus tanggungjawab atas jabatan dan tugas yang dijalani dan bukan
menggunakannya untuk keperluan pribadi. Itulah yang dilakukan oleh Widodo
Budidarmo, seorang jenderal yang pernah menjabat menjadi Kapolri pada 1974--
1978. Pria yang dikenal sangat tegas dalam menjalankan tugasnya itu lahir pada 1
September 1927 di Surabaya, Jawa Timur dan menutup usianya pada tanggal 5 Mei
2017 lalu di usia 89 tahun.
Semasa hidupnya, Widodo dikenal sebagai seorang pemimpin yang tegas.
Sepak terjangnya layak dijadikan teladan oleh para polisi saat ini. Hal tersebut
tercermin ketika terjadi musibah pada tahun 1973, salah seorang anaknya yang
bernama Agus Aditono, bermain-main dengan pistol dan tidak sengaja menembak dan langsung menewaskan sopir kesayangannya. Alih-alih menyembunyikan kasus
itu demi nama baiknya sebagai Kapolri, Widodo justru mengambil langkah sebaliknya.
Ia membuka peristiwa penembakan itu kepada publik dalam sebuah jumpa pers dan
menyerahkan putranya kepada Kepolisian Sektor (Polsek) Kebayoran Baru untuk
diproses secara hukum.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tono yang saat itu
masih duduk di bangku SMP, dijatuhi hukuman percobaan.
"Bapak bilang, meskipun kamu anak polisi, tetap harus bertanggung jawab.
Akhirnya, saya disidang di pengadilan dan dihukum setahun masa percobaan.
Sebagai seorang anak, saat itu saya merasakan betul ketegasan Bapak," kenang
Tono.
Di lingkungan keluarga, ia pun membuat sebuah maklumat keras bagi istri dan
anak-anaknya. Ia melarang mereka jemawa karena jabatan yang kini disandangnya.
"Ketika mau diangkat sebagai kapolri, kami sekeluarga dikumpulkan semua,"
kisah Martini Indah, anak sulung Widodo. "Beliau minta agar kami semua tak
mengganggu tugas beliau sebagai kapolri. Artinya, kami tak boleh menggunakan
nama dan jabatan bapak untuk keperluan pribadi."
Widodo juga tak memanjakan mereka dengan fasilitas yang didapatkan
sebagai panglima tertinggi kepolisian. Hanya sesekali Martini dan kedua adiknya
berangkat ke sekolah dengan diantar sopir. Mereka lebih sering menggunakan
angkutan umum demi mematuhi maklumat sang ayah.
Semasa menjadi Kepala Polri (1974-1978) Widodo menggelar Operasi Guruh
untuk memberantas aksi penyelundupan mobil, Operasi Guntur menertibkan orang
asing, Operasi Badai untuk memberantas narkoba, Operasi Halilintar meringkus
kejahatan bersenjata api dan melakukan Operasi 902 yang berhasil mengirim 70
gembong penyelundup diasingkan ke Nusakambangan.
Keberhasilan tugasnya di dalam negeri diimbangi kiprah di luar negeri. Tahun
1976, dalam sidang tahunan Interpol di Accra, Ghana, Widodo terpilih sebagai Wakil
Presiden ICPO (International Criminal Police Organization). Salah satu jabatan
puncak internasional yang pernah dicapai anggota Polri itu dilepaskan tiga tahun
kemudian, sesudah Widodo diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Kanada. 

Dalam hidupnya, Widodo Budidarmo pernah mendapatkan prestasi tinggi
dalam pemberantasan korupsi. Widodo mencatatkan dirinya dalam sejarah
pemberantasan korupsi di tanah air sebagai tokoh yang berhasil membongkar kasus
korupsi yang dilakukan seorang perwira tinggi Polri dan merugikan negera sebesar
44 M. Ia mengungkapkan kasus Siswadji yang tadinya hendak ditutup-tutupi. Dalam
kasus ini Widodo Budidarmo menekankan "kita benar-benar serius dalam upaya
memberantas korupsi," Kasus Siswadji nyaris tidak jadi diajukan ke pengadilan sebab
Menhankam/ Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean semula berpendapat,
"selesaikan saja diam-diam sebab akan malu kita semua nanti." Tetapi, Widodo
menegaskan, "Justru harus diajukan ke pengadilan untuk memberi teladan bahwa kita
benar-benar sangat serius dalam upaya memberantas korupsi." Akhirnya Siswadji
dihukum penjara selama delapan tahun.
Widodo mengatakan, menjadi pemimpin itu harus tegas kepada siapapun
tanpa pandang bulu. Tidak peduli siapapun mereka anak, istri, kerabat, maupun
sahabat sendiri. Bila mereka melanggar aturan hukum, maka haruslah tetap di proses
secara hukum. Ia memegang teguh kepada pendiriannya tersebut hingga akhir
usianya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun