Mohon tunggu...
Nadya Hanani
Nadya Hanani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hai! Aku Nadya Hanani. Seorang mahasiswa yang menyukai dunia menulis dan digital teknologi, seperti desain untuk sosial media dan lain-lain.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Laut China Selatan Terhadap Kedaulatan Indonesia

31 Mei 2024   22:08 Diperbarui: 31 Mei 2024   23:53 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kapal China di laut Natuna (pexels.com)

Laut China Selatan atau yang disebut LCS merupakan jalur laut yang mengandung kepentingan-kepentingan strategis, tidak hanya bagi negara-negara pantai yang mengelilinginya, namun juga negara-negara maritim yang sumber perekonomiannya berasal dari perdagangan internasional. Laut China Selatan terdiri atas gugusan kepulauan yang sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil yang tak berpenghuni. Setidaknya terdapat enam negara yang memperebutkan Laut China Selatan, yaitu China, Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam.

Laut China Selatan dipandang sebagai perairan dengan sumber daya alam dan hasil laut yang melimpah serta nilai komoditas perairan disebut bisa mencapai triliunan dolar. Dilansir dari Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan Laut China Selatan pada 2016 mencapai US$3,37 triliun. Perdagangan gas alam cair global yang transit melalui LCS pada 2017 sebanyak 40 persen dari total konsumsi dunia. Selanjutnya dari potensi ekonominya, Laut China Selatan kaya akan sumber daya hasil laut, meskipun dalam praktiknya cenderung dieksploitasi secara berlebihan. Perairan ini juga dilaporkan memiliki cadangan minyak dan gas yang signifikan. Diperkirakan ada 11 miliar barel minyak yang belum dimanfaatkan dan 190 triliun kaki kubik cadangan gas alam di LCS. Atas nilai kekayaan alam dan potensi ekonomi tersebut diduga menjadi faktor yang memperburuk sengketa maritim dan teritorial antarnegara di kawasan itu. Persaingan klaim kedaulatan teritorial atas pulau-pulau dan perairan tersebut turut menjadi sumber konflik Laut China Selatan dan saling curiga yang berlangsung sejak lama. Hal tersebut kerap memicu sengketa panas terhadap Laut China Selatan oleh negara-negara kawasan.

Konflik atau sengketa Laut China Selatan tidak bisa dilepaskan dengan klaim sepihak negara kawasan termasuk China dalam hal kepemilikan wilayah perairan tersebut. Klaim ini bermula pada 1947 ketika China memproduksi peta LCS dengan sembilan garis putus-putus atau Nine Dashed Line (NDL) dan menyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut termasuk Kepulauan Spartly dan Paracel sebagai wilayah teritorinya. Salah satu garis dari keseluruhan Nine Dashed Line melewati Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen Indonesia di Laut Natuna bagian  utara. Dalam ilustrasi peta yang dibuat oleh Pusat Hidrografi dan Oseanografi Angkatan Laut (Pushidrosal), wilayah ZEE Indonesia tumpang tindih dengan salah satu dari sembilan garis putus-putus. Peta  tersebut menunjukkan ada sekitar 83.315,62 kilometer persegi daerah yang tumpang tindih dengan klaim NDL. Secara hukum, Indonesia menyatakan  melalui  UU Nomor 1 Tahun 1973  tentang Landas Kontinen Indonesia, bahwa wilayah yurisdiksi Indonesia di utara Natuna yang berpotongan dengan NDL merupakan wilayah Indonesia. 

Meskipun ZEE Indonesia telah dirumuskan dalam peta-peta ilustrasi, namun secara hukum, pemerintah belum mendepositkan batas-batas maritim Indonesia, terutam yang berbatasan dengan negara tetangga menurut zonasinya belum didepositkan kepada Sekjen PBB. Klaim Indonesia atas ZEE masih sebatas klaim unilateral saja, sehingga  sulit  bagi  Indonesia  membawa permasalahan overclaiming China dan ZEE Indonesia kepada komunitas internasional maupun dalam melakukan penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di wilayah ZEE tersebut.

Provokasi China di wilayah yurisdiksi Indonesia terjadi pada tahun 2013, 2015, dan 2016 di mana kapal-kapal nelayan China masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia untuk menangkap ikan secara ilegal. Kapal-kapal nelayan tersebut selalu dikawal oleh kapal CCG yang berusaha untuk mencegah agar kapal penegak hukum Indonesia tidak membawa kapal-kapal nelayan tersebut. Provokasi China menimbulkan keresahan pada instrumen-instrumen kekuatan maritim Indonesia, adanya protes tidak terkoordinasi antara KKP, Kemlu, dan Kemhan menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia belum memiliki sinergi untuk menghadapi klaim NDL China yang dipertegas dengan provokasi tersebut. Kebijakan yang dirumuskan oleh instrumen kekuatan maritim juga belum mampu mengharmonisasi langkah-langkah instrumen untuk menunjukkan sikap yang tegas terhadap klaim NDL China, karena  masih berada dalam tataran masing-masing kementerian belum dan ada pedoman kebijakan secara nasional. 

Beberapa instrumen kekuatan maritim Indonesia menganggap bahwa klaim NDL bukanlah sebuah ancaman karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), namun anggapan bahwa NDL adalah ancaman juga muncul terutama dari instrumen yang turun langsung ke lapangan untuk melakukan penegakkan hukum karena provokasi China benar-benar terjadi. Klaim NDL China yang berpotongan dengan wilayah yurisdiksi Indonesia menjadi salah satu masalah maritim yang memperlihatkan bahwa instrumen kekuatan maritim Indonesia belum memiliki sinergi yang kuat untuk menjaga keamanan maritim pada domainnya.

Oleh karena itu, Indonesia harus mengambil berbagai langkah strategis untuk mengatasi ancaman konflik di Laut China Selatan. Pertama, perlu memperkuat kerja sama regional dengan negara-negara ASEAN dan mitra internasional untuk membangun kerangka kerja yang kuat guna menyelesaikan konflik dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, serta perlu meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanannya untuk melindungi kedaulatan wilayahnya. Karena, Indonesia memiliki tanggung jawab yang besar untuk berperan aktif dalam upaya penyelesaian konflik dan pemeliharaan perdamaian di Laut China Selatan. Melalui diplomasi regional dan internasional, Indonesia dapat mempromosikan negosiasi, dialog, dan resolusi damai atas sengketa wilayah tersebut. Selain itu juga dapat berperan sebagai mediator atau fasilitator dalam proses perdamaian, membantu negara-negara lain untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

Dengan demikian, Indonesia dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperkuat perdamaian, stabilitas, dan keamanan di Laut China Selatan, serta memastikan bahwa kepentingan nasional dan regional tetap terjaga dan dihormati. Melalui upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas internasional dapat mengatasi tantangan ini dan menjaga kedaulatan wilayah untuk masa depan yang lebih aman, damai, dan sejahtera.

REFERENSI :

Christine Anggi Sidjabat, Amarulla Octavian, Budiman Djoko Said (2018). Sinergi Instrumen Kekuatan Maritim Indonesia Menghadapi Klaim Cina Atas Laut Cina Selatan. Retrieved on May 28, 2024 from neliti.com: https://www.neliti.com/id/publications/359876/sinergi-instrumen-kekuatan-maritim indonesia-menghadapi-klaim-cina-atas-laut-cin

Tim CNN Indonesia (2022). Sejarah Konflik Laut China Selatan yang Jadi Rebutan. Retrieved on May 28, 2024 from cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220511135122-118-795477/sejarah konflik-laut-china-selatan-yang-jadi-rebutan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun