Rembulan baru saja beranjak meninggalkan singgasananya. Pagi telah datang. Aku tak dapat terpejam hingga pagi menjelang. Penyakit biduran, yang menyerang seluruh tubuh, membuat rasa kantuk tak lepas dari mata. Apalagi tetangga depan rumah, memberi obat alergi. Setelah sarapan bubur, aku kembali terlelap.
Pukul 10.00 aku terbangun. Dengan tubuh yang masih lemas, aku segera beranjak ke kamar mandi. Teringat pukul 10.00 siang ini, ada arisan keluarga yang harus aku hadiri. Rasa hati, enggan untuk beranjak pergi. Namun memikirkan silaturahim, dan uang arisan yang harus di setor. Walau dengan perasaan enggan aku tetap berkemas.
Suamiku telah siap mengantar. Kami lebih senang menggunakan kendaraan roda dua. Untuk menghindari macet tentunya. Rencana weekend ingin mencuci, suamiku menyarankan minggu depan saja. Aku seorang pendidik. Hingga hanya dihari minggu, aku dapat berkemas rumah. Alhamdulillah memiliki suami yang sangat pengertian, ia tak pernah mempermasalahkan, jika aku sibuk.
"Tak sempat masak, beli jadi. Capek, istirahat saja," katanya.
Kami segera berangkat. Walau hari libur, jalan begitu macet. Kendaraan roda empat, dan roda dua, saling menyalip. Tak ada yang mau mengalah. Tibalah kami di belokan jalan. Rumah tempat arisan sudah dekat. Saat akan berbelok, sebuah motor yang membawa keranjang dengan isi begitu padat, menyalip kendaraan kami dari arah depan. Aku yang terbiasa menggunakan tangan, sebagai isyarat untuk berbelok. Di daerah kami, walau sudah menggunakan lampu sen kiri kanan, untuk berbelok. Kendaraan yang ada di kiri kanan, terkadang masih tak peduli. Kebiasaan suka menyalip, sering membawa korban nyawa. Secara tiba-tiba, tanganku terpukul keranjang yang ia bawa. Hanya terasa sakit. Mataku memandang tangan yang terpukul tadi.
"Yaa Allah," aku memekik.
Suamiku yang berada di depan tak sadar. Darah mengucur deras dari tanganku. Hanya rasa nyeri, serta perih yang terasa. Darah yang keluar begitu banyak.
"Ke tempat arisan, kemudian langsung ke rumah sakit," ungkapku.
Tibalah kami di tempat arisan. Mereka kaget melihat banyaknya darah yang bercucuran. Ada yang berinisiatif mengambilkan tisue untuk menutupi luka. Ada yang mengambilkan air minum. Aku menyerahkan dua lembar uang berwarna merah. Tanpa menunggu uang kembalian. Kami segera menuju ke rumah sakit terdekat dengan lokasi kejadian.
Ruang UGD terlihat lenggang. Mereka cepat tanggap menangani tanganku. Karena tidak membawa KTP dan BPJS, suamiku kembali ke rumah. Mereka membius telapak tanganku, beberapa kali suntikan. Selanjutnya, menyiram dengan larutan alkohol sambil dibersihkan sisa darah yang masih menempel.
"Dua jahitan dalam, empat jahitan luar. Sobekan berbentuk Y," kata dokter yang menjahit.
"Ada luka memanjang di sepanjang telapak tangan, tak bisa dijahit. Kulit akan tertarik, hingga nanti sulit untuk digerakkan," lanjut dokter.
"Ibu tangannya, tak boleh kena air dulu ya? Untuk wudhu, sementara gunakan tayamum dulu. Seminggu kira-kira, menunggu luka cukup kering. Hari rabu, kontrol buka jahitan. Cukup datang ke puskesmas dekat tempat tinggal ibu. saya beri ibu antibiotik dan obat penghilang rasa nyeri," panjang lebar dokter memberi nasehat padaku.
"Tak usah masak, mencuci dan lain pekerjaan. Jangan banyak digerakkan tangannya. Ya? Bu," kata dokter, yang kutahu bernama Nina. Terlihat dari namtag yang tergantung di lehernya.
Ia banyak bertanya tentang riwayat penyakit. Apakah ada dibates, hypertensi. Karena semua penyakit tersebut sangat berbahaya, jika ada tubuh kita yang terluka.
Tak ada biaya sepersenpun yang kami bayar. Kami segera meninggalkan ruang UGD. Apa kabar dengan orang, yang menyebabkan tanganku terluka. Entah. Ia telah kabur. Akupun tak memikirkannya lagi.
Saat di jalan menuju ke arah pulang. Suamiku berucap.
"Memang, segala sesuatu. Jika kata hati telah melarang. Itu adalah suatu peringatan. Harusnya kami tak perlu berangkat. Hanya untuk sekedar pergi makan, padahal dalam keadaan tubuh juga kurang sehat. Tetapi tetap berangkat," itu yang terangkai dalam pikiran suamiku.
Semua sudah terjadi. Walau kita sudah berdoa, saat akan berangkat. Musibah adalah termasuk rencana Allah. Kita tak dapat menolak. Akhirnya, cucian yang telah menunggu, memang tetap tak dapat dikerjakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H