"Ada luka memanjang di sepanjang telapak tangan, tak bisa dijahit. Kulit akan tertarik, hingga nanti sulit untuk digerakkan," lanjut dokter.
"Ibu tangannya, tak boleh kena air dulu ya? Untuk wudhu, sementara gunakan tayamum dulu. Seminggu kira-kira, menunggu luka cukup kering. Hari rabu, kontrol buka jahitan. Cukup datang ke puskesmas dekat tempat tinggal ibu. saya beri ibu antibiotik dan obat penghilang rasa nyeri," panjang lebar dokter memberi nasehat padaku.
"Tak usah masak, mencuci dan lain pekerjaan. Jangan banyak digerakkan tangannya. Ya? Bu," kata dokter, yang kutahu bernama Nina. Terlihat dari namtag yang tergantung di lehernya.
Ia banyak bertanya tentang riwayat penyakit. Apakah ada dibates, hypertensi. Karena semua penyakit tersebut sangat berbahaya, jika ada tubuh kita yang terluka.
Tak ada biaya sepersenpun yang kami bayar. Kami segera meninggalkan ruang UGD. Apa kabar dengan orang, yang menyebabkan tanganku terluka. Entah. Ia telah kabur. Akupun tak memikirkannya lagi.
Saat di jalan menuju ke arah pulang. Suamiku berucap.
"Memang, segala sesuatu. Jika kata hati telah melarang. Itu adalah suatu peringatan. Harusnya kami tak perlu berangkat. Hanya untuk sekedar pergi makan, padahal dalam keadaan tubuh juga kurang sehat. Tetapi tetap berangkat," itu yang terangkai dalam pikiran suamiku.
Semua sudah terjadi. Walau kita sudah berdoa, saat akan berangkat. Musibah adalah termasuk rencana Allah. Kita tak dapat menolak. Akhirnya, cucian yang telah menunggu, memang tetap tak dapat dikerjakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H